Karena ilmu akan lebih bermanfaat jika kita dapat mengolahnya untuk membantu orang lain, semoga bermanfaat :)
Sabtu, 17 Januari 2015
Hakikat Wacana
I.
Hakikat Wacana
Wacana pada dasarnya merupakan unit alamiah dengan awal (pembuka) dan akhir
(penutup), dan ada sejumlah struktur internal. Unit wacana mempunyai struktur
internal yang diorganisasi oleh sejumlah prinsip formal dan struktural.
Menurut Harimurti Kridalaksana, wacana (discourse)
adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan
gramatikal tertinggi atau terbesar (1983: 179 dalam Sumarlam, 2009:5).
Henry Guntur Tarigan (1987: 27)
mengemukakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi
dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai
awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan
atau tertulis.
James Deese dalam karyanya Thought
into Speech: the Psychology of a Language (1984:72, sebagaimana dikutip
ulang oleh Sumarlam,2009:6) menyatakan bahwa wacana adalah seperangkat
proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan suatu rasa kepaduan atau
rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca. Kohesi atau kepaduan itu sendiri harus
muncul dari isi wacana, tetapi banyak sekali rasa kepaduan yang dirasakan oleh
penyimak atau pembaca harus muncul dari cara pengutaraan, yaitu pengutaraan
wacana itu.
Definisi wacana klasik
yang diturunkan dari asumsi kaum formalis (Struktural) adalah bahwa wacana
merupakan “bahasa di atas kalimat atau klausa” (Stubbs dalam Sumarlam,dkk,
2003: 10)
Depdiknas(2003: 1265)
mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan
dalam betuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato,
atau khotbah.
Sementara itu, Fatimah
Djajasudarma(1994: 1) mengemukakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang
berkaitan, menghubungkan proposisi yang satudengan proposisi yang lain,
membentuk satu kesatuan, proposisi sebagai isi konsep yang masih kasar yang
akan melahirkan pernyataan (statement) dalam bentuk kalimat atau wacana.
I.G. N. Oka dan
Suparno(1994: 31) menyebutkan pengertian wacana sebagai satuan bahasa yang
membawa amanat yang lengkap. Amir Purba (2007:
http://dictum4magz.wordpress.com) mengemuka-
kan bahwa wacana adalah proses komunikasi, yang menggunakan simbol-simbol, yang
berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam sistem
kemasyarakatan yang luas.
Cook(1997: 6) berpendapat bahwa kinds
of language- language in use, for communication – iscalled discourse…Berdasarkan
pendapat tersebut, Cook (1997: 156) mendefinisikan wacana (discourse)
sebagai stretches of language perceived to be meaningful, unified, and
purposive. Sedangkan Nunan mengemukakan devinisi wacana dengan mengaitkan
konteks di dalamnya. Nunan(1993: 6) mengemukakan bahwa discourse refers to
language in context.
Sejalan dengan pendapat Cook, Hasan
Alwi, dkk(2000: 41) menjelaskan pengertian wacana sebagai rentetan
kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara
kalimatkalimat itu. Dengan demikian sebuah rentetan kalimat tidak dapat
disebut wacana jika tidak ada keserasian makna. Sebaliknya, rentetan
kalimat membentuk wacana karena dari rentetan tersebut terbentuk makna yang
serasi.
Sementara itu, Norman berpendapat bahwa
wacana adalah bahasa yang digunakan untuk merepresentasikan suatu praktik
sosial. Norman (1997: 7) mengatakan bahwa “discourse”is use of language seen
as a form of social practice….
Dengan menggabungkan beberapa pendapat,
Martutik (2009. http://pustaka.ut.ac.id) mengungkapkan
bahwa wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan
untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa
rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan
dapat bersifat transaksional atau interaksional.
Sementara itu, Sumarlam, dkk( 2003: 15)
menyimpulkan dari beberapa pendapat bahwa wacana adalah satuan bahasa
terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan
dialog, atau secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen
tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya ( dari segi bentuk bersifat
kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya( dari segi makna) bersifat
koheren, terpadu.
I.G.D.Oka dan Suparno (264- 269)
mengemukakan unsur- unsur wacana, antara lain (a)
Topik : mengacu pada hal yang diicarakan dalam
wacana.(b) Tuturan pengungkap topik: wujud konkret tuturan tersebut adalah
kalimat atau untaian kalimat yang membentuk teks. (c) Kohesi dan koherensi :
kohesi adalah keruntutan kalimat yang merupakan hubungan struktural antar
kalimat dalam wacana. Koherensi adalah hubungan semantik antar kalimat atau
antar bagian wacana.
Purwo Haryono(2003: 277) mengemukakan
beberapa unsur berkaitan dengan wacana,yakni: (a) satuan bahasa terlengkap dan
tertinggi, (b) bersifat utuh, (c) berbentuk lisan atau tertulis, (c) memiliki
proposisi yang saling berhubungan ntuk membentuk kohesi, (d) memiliki koherensi
tinggi.
Berdasarkan
beberapa pendapat mengenai batasan wacana di atas pengertian wacana adalah
satuan bahasa lisan maupun tulis yang memiliki keterkaitan atau keruntutan
antar bagian (kohesi), keterpaduan (koheren), dan bermakna (meaningful),
digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial.
Berdasarkan pegertian tersebut, persyaratan
terbentuknya wacana adalah penggunaan bahasa dapat berupa rangkaian kalimat
atau rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kalimat atau ujaran).
Wacana yang berupa rangkaian kalimat atau ujaran harus mempertimbangkan
prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity) dan kepaduan (coherent).
Wacana dikatakan utuh apabila kalimat-kalimat
dalam wacana itu mendukung satu topik yang sedang dibicarakan, sedangkan wacana
dikatakan padu apabila kalimat-kalimatnya disusun secara teratur dan
sistematis, sehingga menunjukkan keruntututan ide yang diungkapkan.
II. Pengertian
Analisis Wacana
Istilah
wacana digunakan oleh para linguis Indonesia sebagai terjemahan dari
istilah bahasa Inggris discourse. Dari istilah wacana itu lahirlah
istilah analisis wacana (discourse analysis).
Pengertian
analisis wacana dikemukakan oleh beberapa ahli. Pada umumnya para ahi
mengemukakan, pengertian analisis wacana melalui cara membandingkan
dengan batasan wacana. Beberapa ahli menyebutkan bahwa batasan pengertian
analisis wacana adalah analisis atas bahasa yang digunakan atau bahasa dalam konteks
sosial pemakaian bahasa.
Stubbs
di dalam Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural
Language (1984:1) mengemukakan pendapatnya tentang analisis wacana,
sebagaimana berikut ini.
“ (Analisis wacana) merujuk pada upaya
mengkaji pengaturan bahasa di atas klausa dan kalimat, dan karenanya juga
mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas. Seperti pertukaran
percakapan atau bahasa tulis. Konsekuensinya, analisis wacana juga
memperhatikan bahasa pada waktu digunakan dalam konteks sosial, khususnya
interaksi antarpenutur”.
Selanjutnya
Stubbs (1984: 7) menyatakan “However, it has become increasingly clear that
a coherent view of language, ingluding syntax must take account of discourse
phenomena”. Analisis wacana menggunakan aturan-aturan atau batasan-batasan
bahasa. Aturan-aturan itu termasuk sintaksis atau tata kalimat dan harus
memperhatikan fenomena dari wacana.
Senada
dengan yang diungkapkan oleh H. Douglas Brown seperti yang dikutip ulang oleh
Sarwiji (2008: 146) bahwa komunikasi sulit kita laksanakan tanpa adanya hubungan-hubungan
wacana yang merupakan hubungan antarkalimat dan suprakalimat (suprasentensial)
dan tanpa adanya konteks.
Brown and Yule ( 1996: 1) menjelaskan bahwa the
analysis of discourse is, necessarily, the analysis of language in use. Sependapat
dengan Brown and Yule, Nunan( 1993:7) berpendapat bahwa discourse analysis
involves the study of language in use. The esertion here is the analysis of
discourse involves the analysis of language use. Norman (1997: 7)
mengemukakan bahwa discourse is use of language seen as a form of social
practice, and discourse analysis of how textwork within sociocultural practice.
Sejalan dengan beberapa pendapat diatas,
Sarwiji Suwandi( 2008: 145) mengemukakan bahwa analisis wacana pada hakikatnya
merupakan kajian tentang fungsi bahasa atau penggunaan bahasa sebagai sarana
komunikasi.
Sedangkan Cook mengemukakan bahwa analisis
wacana berhubungan dengan pengkajian koherensi. Cook( 1997: 6)
menjelaskan bahwa the search for what gives discourse coherence is discourse
analysis.
Tentang fokus kajian analisis wacana,
McCharthy (1997: 5) menyertakan konteks dalam telaah wacana. Ia menyebutkan
bahwa discourse analysis is concerned with the study of the relationship
between language and the context which it is use. Pada buku
yang lain, McCharthy(1990: 52) menegaskan bahwa discourse analysis are
concerned with features that connect language with the contexts in which it is
used …. Pendapat tersebut didukung oleh Nunan(1993: 7) bahwa context
is an important concept in discourse analysis.
Kategori
konteks bahasa yang menjadi ranah analisis wacana disebutkan pula oleh
McCharthy(1997: 5), yakni … written texts of all kinds, and spoken data,
from conversation to highly institutionalized forms to talk.
Martuik
(2009.http://pustaka.ut.ac.id.)
menjelaskan bahwa dalam analisis wacana berlaku dua prinsip, yakni prinsip
interpretasi lokal dan prinsip analogi. Prinsip interpretasi lokal adalah
prinsip interpretasi berdasarkan konteks, baik konteks linguistik atau koteks
maupun konteks nonlinguistik. Konteks nonlinguistik yang merupakan konteks
lokal tidak hanya berupa tempat, tetapi juga dapat berupa waktu, ranah
penggunaan wacana, dan partisipan.Prinsip interpretasi analogi adalah prinsip
interpretasi suatu wacana berdasarkan pengalaman terdahulu yang sama atau yang
sesuai.
Menurut
Stubbs (1983) analisis wacana merujuk pada upaya mengkaji penggunaan bahasa di
atas kalimat atau klausa; dan oleh karenanya, analisis wacana mengkaji
satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas seperti percakapan (wacana lisan) atau
teks tulis.
Berdasarkan
beberapa pengertian analisis wacana tersebut, pengertian analisis wacana
membahas bagaimana pemakai bahasa mencerna apa yang ditulis oleh para penulis
dalam buku-buku teks, memahami apa yang disampaikan penyapa secara lisan dalam
percakapan, dan dengan mngemukakan pula konteks yang menyertai teks. Dengan
demikian analisis wacana berupa upaya menafsirkan
suatu wacana yang tidak terjangkau oleh semantik tertentu maupun sintaksis.
III.
Unsur
Wacana
IV.
Konteks
Wacana
Konteks wacana menurut Del Hymes mengandung delapan unsur pembentuk, yang
dirumuskan dengan baik sekali
faktor-faktor penentu peristiwa tutur tersebut, melalui akronim SPEAKING.
Tiap-tiap fonem mewakili faktor penentu yang dimaksudkan.
a.
Latar (setting)
- S
Latar ini mengacu pada tempat dan waktu/tempo terjadinya
percakapan. Misalnya, percakapan di rumah pada waktu malam ketika hari sudah
larut.
·
Ayah :
“Sudah pukul berapa ini, nak?”
·
Anak :
“Oh iya sudah pukul 10. Biar saya masukan motor dan kunci gerbangnya, Yah.”
b.
Peserta (Participants)
- P
Peserta mengacu kepada peserta percakapan, yaitu pembicara (penyapa) dan
pendengar atau kawan bicara misalnya antara ayah dan anak pada contoh diatas, keduanya merupakan peserta
percakapan.
c.
Ends (hasil)
- E
Hasil mengacu pada hasil percakapan dan tujuan percakapan. Misalnya, pada
percakapan diatas tujuannya ialah mengingatkan sang anak untuk mengunci pagar
rumah dengan cara menanyakan waktu.
d.
Act Sequences (Amanat atau
Pesan) - A
Amanat mengacu pada bentuk dan isi amanat. Bentuk amanat dapat berupa
surat, esai, iklan, dan lain sebagainya. Perhatikan perbedaan antara bentuk dan
isi amanat berikut:
·
Ibunya berdoa, “Tuhan, semoga kami diberkahi
keselamatan, dijauhi dari sengsara”
·
Ibunya berdoa
memohon kepada Tuhan agar diberkahi keselamatan dan dijauhkan dari sengsara.
e.
Key (cara) -
K
Key (cara) mengacu pada semangat melaksanakan percakapan, berkaitan dengan
cara partisipan dalam menuturkan ujarannya, misalnya: dengan bersemangat
anaknya memasukan motor ke dalam rumah dan mengunci pagar.
f.
Instrumen
(sarana) - I
Instrumen (sarana) yaitu mengacu pada apakah pemakaian bahasa dilaksanakan
secara lisan atau tulis dan mengacu pula pada variasi bahasa yang
digunakan. Pada percakapan di contoh (a)
sarana yang digunakan berbentuk lisan, karena ujaran disampaikan langsung
antara kedua peserta komunikasi.
g.
Norm (Norma)
- N
Norma mengacu pada perilaku peserta percakapan. Misalnya,”diskusi’’ yang
cenderung dua arah, setiap peserta memberikan tanggapan atau argumentasi,
sedangkan pada “ceramah” komunikasi yang
dilakukan cenderung satu arah. Pada contoh percakapan (a) di atas menggunakan perilaku diskusi yaitu diskusi antara
Ayah dan anak.
h.
Genre
(jenis) - G
Genre (jenis) mengacu pada kategori, seperi sajak, teka-teki, doa,
argumentasi, persuasi, dan narasi. Jenis kategori yang terdapat pada contoh (d) ialah doa dimana pada wacana
di atas seorang ibu selalu mendoakan anaknya.
Sedangkan konteks wacana menurut Anton M. Moeliono
(1988:336) dan Samsuri (1987:4), konteks terdiri atas beberapa hal, yakni
situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat,
kode, dan saluran.
2.
Sejarah Analisis Wacana
Sejarah
analisis wacana dalam tulisan ini mengambil intisari dari paparan yang
dikemukakan Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2008), Mulyana
(2005) dan Sri Utari Subyakto Nababan (2000). Berdasarkan uraian yang telah
mereka kemukakan, dapat diketahui bahwa hingga akhir tahun 1960-an, pada
umumnya kajian bahasa masih berorientasi pada kawasan mikrolinguistik, yaitu
kajian bahasa yang menelaah masalah bahasa secara internal bahasa, yakni kajian
tentang tata kalimat (sintaksis); morfologi, dan tata bunyi (fonologi).
Dalam
sejarah perkembangannya, seorang linguis kenamaan bernama Zellig S. Harris
menyatakan ketidak puasannya terhadap “tata bahasa kalimat”. Selanjutnya
artikel “Discourse Analysis” yang dimuat di majalah Language
nomor 28:1-3 dan 474-494 dipublikasikannya. Dalam tulisannya itu, Harris
mengemukakan argumentasi tentang perlunya mengkaji bahasa secara komprehensif,
tidak hanya berhenti pada aspek internal-struktural semata tetapi aspek
eksternal bahasa juga perlu dikaji untuk mendapatkan informasi yang lebih
jelas.
Seperti
yang diungkapkan oleh Dede Oetomo, pernyataan Harris tersebut agak melawan arus
aliran linguistik yang berkembang di Amerika yaitu aliran strukturalisme buah
pikiran Bloomfield (1887-1949) yang dengan tegas memisahkan kajian sintaksis
dari semantik dan hal-hal lain di luar kalimat (dalam Mulyana, 2005:67).
Awal
tahun 1970-an mulai berkembang kajian bahasa yang menitikberatkan pada bidang
makrolinguistik, yaitu telaah bahasa di atas tataran kalimat atau klausa. Dalam
kajian makrolinguistik, orang akan mempermasalahkan bagaimana kalimat satu
berhubungan dengan kalimat lain secara kohesif dan koheren untuk membentuk
satuan kebahasaan yang lebih besar. Salah satu bentuk kajian
makrolinguistik adalah analisis wacana (discourse analysis).
Sementara
itu, di Amerika muncul pendekatan sosiolinguistik yang dipelopori oleh Dell
Hymes, yang antara lain mengkaji masalah percakapan, komunikasi, dan
bentuk sapaan, yang nantinya berkembang menjadi kajian wacana yang lebih luas.
Ia berpandangan agak berbeda dengan pendahulunya, yaitu Chomsky. Keberterimaan
menurut Chomsky (1965) berbeda dengan keberterimaan menurut Hymes (1987).
Melalui teorinya, Tatabahasa Generatif (Generative Grammar), Chomsky
berpandangan bahwa kalimat yang gramatikal adalah kalimat yang sesuai dengan
kaidah kebahasaan, menurut aturan atau sistem bahasa yang berlaku pada bahasa
itu; sedangkan kalimat yang berterima adalah kalimat yang lebih cenderung
dipilih untuk digunakan, lebih mudah dipahami, dan lebih alami. Bagi Hymes,
kalimat yang berterima merupakan kalimat yang penggunaannya telah sesuai dengan
konteks pemakaiannya.
Analisis
wacana (discourse analysis) sebagi disiplin ilmu, baru benar-benar
berkembang secara mantap pada awal tahun 1980-an. Berbagai buku kajian wacana
terbit pada dasawarsa itu, misalnya Stubbs (1983), Brown dan Yule (1983), dan
yang paling komprehensif adalah karya Van Dijk (1985).
Analisis
wacana di Indonesia mulai diperhatikan sejak tahun 80-an bersamaan dengan
munculnya kajian pragmatic dalam bahasa Indonesia. Bahkan pragmatic tertuang
secara ekspisit dalam kurikulum pendidikan tahun 1984 di Indonesia.
3.
Data dalam Analisis Wacana
Data
dalam analisis wacana adalah wacana yang merupakan satuan bahasa. Satuan
bahasa dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Abdul Rani,Bustanul
Arifin, dan Martutik(2006: 9) menyebutkan bahwa wacana dapat berbentuk lisan
atau tulis. Lebih jelas mereka mengemukakan bahwa data dalam analisis wacana
selalu berupa teks baik teks lisan maupun tertulis.
Brown and Yule (1996: 6)
juga memakai teks sebagai istilah teknis untuk mengacu pada rekaman verbal
tindak komunikasi. Mereka juga menjelaskan tentang realisasi teks yang terdiri
atas teks tertulis dan lisan. Halliday dan Ruqaya Hasan ( 1994 :13)
mengemukakan bahwa teks adalah bahasa yang berfungsi. Yang dimaksud fungsi
adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas- tugas tertentu dalam konteks situasi.
Berdasarkan pengertian teks tersebut, semua bahasa yang mengambil bagian
tertentu dalam konteks situasi akan disebut teks. Bahasa tersebut mugkin dalam
bentuk tutur dan tulis.
Sri
Utari Subyakto Nababan (2000) mengemukakan bahwa ruang lingkup analisis wacana
dewasa ini sudah sangat luas. Kemudian dalam bukunya, Sri Utari subyakto
Nababan memfokuskan ruang lingkup analisis wacana dalam bentuk analisis wacana
lisan dan tulisan sebagaimana dikemukakan oleh Brown and Yule.
Tentang
fokus kajian analisis wacana, McCharthy (1997: 5) menyertakan konteks
dalam telaah wacana. Ia menyebutkan bahwa discourse analysis is concerned
with the study of the relationship between language and the context which
it is use. Analisis wacana mempelajari hubungan antara bahasa dan
konteks yang melatarbelakanginya. Pendapat tersebut didukung oleh Nunan
bahwa konteks adalah konsep penting dalam analisis wacana. Nunan(1993: 7)
menyebutkan context is an important concept in discourse analysi. Kategori
konteks bahasa yang menjadi ranah analisis wacana disebutkan pula oleh
McCharthy(1997: 5), yakni … written texts of all kinds, and spoken data,
from conversation to highly institutionalized forms to talk.
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, data kajian analisis wacana yang akan dikemukakan
dalam pembahasan pada tulisan ini adalah data berupa teks lisan, teks tertulis,
dan konteks.
By : Priscilla Putri Elizabeth
Koordinat dalam Wacana
Tugas
Wacana 2
Koordinat Wacana
1. Koordinat Dunia yang mungkin.
a.
Possible Word
Diah pergi ke kantin ketika lapar.
Kalimat
tersebut merupakan contoh possible word, orang yang lapar biasanya akan pergi ke
kantin, restoran, rumh makan atau sejenisnya untuk membeli makanan.
b.
Impossible Word
Ali mengikuti lomba panjat pinang saat peringatan
hari Kemerdekaan.
Kalimat
tersebut merupakan contoh impossible
word, karena tidak ada korelasi atau hubungan kearusan antara hari
kemerdekaan dengan lomba panjat pinang.
2. Koordinat Antar Wacana
a.
Pengamen gratis!
Tulisan
ini dapat diumpai di pintu atau dinding rumah makan. Sebelum ada wacana ini,
banyak pengamen yang mengamen di dalam rumah makan, sehingga mengganggu tamu
rumah makan yang sedang menikmati makanannya. Akhirnya wacana tersebut dibuat
oleh pengelola rumah makan demi kenyamanan tamu rumah makan.
3. Koordinat Benda-benda yang Tertunjuk
a.
Ibu Kota dilanda
banjir lagi.
Tulisan
tersebut terdapat pada halaman judul di salah satu media masa yang beredar di
Indonesia. Kata “Ibu Kota” tidak perlu dijelaskan lagi bahwa Ibu Kota yang
dimaksud ialah Jakarta, karena pembaca sudah mengetahui kata “Ibu Kota” merujuk
kepada Ibu Kota Negara Republik Indonesia, yaitu Jakarta.
4. Koordinat Penegasan yang Merangkum Perangkat
Benda-benda
a.
Rumah bercat ungu dengan pagar putih itu milikku.
Kata “rumah”
merupakan obsional (ciri wajib), sehingga tidak perlu lagi dijelaskan bahwa
rumah tersebut memiliki atap, jendela, pintu, dan lain sebagainya. Sedangkan
pada kata “bercat ungu dengan pagar putih” merupakan obligator (ciri penjelas),
sehingga lawan bicara dapat memahami rumah yang dimaksudkan oleh pembicara.
By : Priscilla Putri Elizabeth
Analisis Wacana Pragmatik pada Naskah Drama “Cermin” karya Nano Riantiarno
Latar Belakang
Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas
sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di
dalamnya. Di dalam berbicara, penutur dan mitra tutur sama-sama menyadari bahwa
ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya dan
interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya.
Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan
terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu (Allan dalam Putu,
1996).
Saat ini ilmu pragmatik sudah tidak asing lagi di telinga. Ilmu ini muncul
untuk menangani ilmu-ilmu kebahasaan lainnya yang mulai "angkat
tangan" terhadap tuturan yang secara struktur melanggar kaidah atau tidak
sesuai dengan prinsip.
Dalam pragmatik, berbahasa pun juga memiliki kaidah dalam penggunaannya.
Kaidah-kaidah ini mengatur antara penutur dan mitra tuturnya. Kaidah kebahasaan
ini biasa disebut dengan maksim. Maksim disebut sebagai bentuk pragmatik
berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Dalam makalah ini akan
dibahas lebih lanjut mengenai maksin kerja sama.
2. 1 Contoh
Analisis Deiksis pada Naskah Drama “Cermin”
Referensi mencangkup dua hal, antara lain: eksofora
dan endofora (Halliday dan Hasan, 1976: 37). Baik di dalam referensi endofora
maupun di dalam eksofora, sesuatau yang direferensikan harus bisa
diidentifikasi.
2.1.1 Endophora
(Dalam Wacana)
Endofora adalah pengacuan terhadap antiseden yang terdapat
di dalam teks (intratekstual) (Bayu Rusman Prayitno, 2009: 2).
a.
Anafora
Anafora
adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang
mengacu pada satuan lingual lain yang mendahuluinya, atau mengacu anteseden di
sebelah kiri, atau mengacu pada unsur yang telah disebutkan
terdahulu(Indiyastini, 2006:39).
Contoh
analisis dalam naskah drama “Cermin” Karya Nano Riantiarno :
1) LAKI-LAKI:
Apa ada hiasan-hiasan dindingnya? Dari apa? Kuningan apa perunggu? Lampu gantungnya dari kristal? Kamar mandinya bersih, artinya tidak terdapat lipas di sudut-sudutnya. Dapurnya bagaimana? Selalu tersedia makanan hangat dalam lemari? Aku pedagang barang antik, harus tahu secara detail perabotan-perabotan tiap ruangan yang kumasuki. Bagaimana? Apa aku akan ditemani atau sendirian? (BERBISIK) Apa Su ada disitu……apa dia menungguku disitu?
Apa ada hiasan-hiasan dindingnya? Dari apa? Kuningan apa perunggu? Lampu gantungnya dari kristal? Kamar mandinya bersih, artinya tidak terdapat lipas di sudut-sudutnya. Dapurnya bagaimana? Selalu tersedia makanan hangat dalam lemari? Aku pedagang barang antik, harus tahu secara detail perabotan-perabotan tiap ruangan yang kumasuki. Bagaimana? Apa aku akan ditemani atau sendirian? (BERBISIK) Apa Su ada disitu……apa dia menungguku disitu?
Penjelasan
:
Pada
kutipan nomor (1) merupakan contoh anafora yang terdapat pada naskah drama
“Cermin” karya Nano Riantiarno. Pada kutipan (1) kata “dia” merujuk pada kata
“Su”. Contoh tersebut memiliki prinsip bahwa kata pada sebelah kanan merujuk
kepada kata sebelumnya (sebelah kiri). Hal itu senada dengan pengertian dari anafora.
2) LAKI-LAKI:
Sampai mati……. Su! Su! Sunni! Kenapa jadi begini? Kenapa kau pergi? Kenapa aku ada di sini? Kenapa mesti ada hal-hal yang mendorong kita melakukan hal-hal? Kenapa kamu tidak mau menurut? Kenapa waktu kamu masih ada, rasanya semua terang dan jelas. Tanpa kabut. Tiap kupandangi diriku di kaca, maka kulihat ujud seorang laki-laki yang utuh. Lalu sekarang, kau entah ada di mana? Jarak dan tembok memisahkan kita.
Sampai mati……. Su! Su! Sunni! Kenapa jadi begini? Kenapa kau pergi? Kenapa aku ada di sini? Kenapa mesti ada hal-hal yang mendorong kita melakukan hal-hal? Kenapa kamu tidak mau menurut? Kenapa waktu kamu masih ada, rasanya semua terang dan jelas. Tanpa kabut. Tiap kupandangi diriku di kaca, maka kulihat ujud seorang laki-laki yang utuh. Lalu sekarang, kau entah ada di mana? Jarak dan tembok memisahkan kita.
Penjelasan
:
Pada
kutipan nomor (2) merupakan contoh anafora yang terdapat pada naskah drama
“Cermin” karya Nano Riantiarno. Pada kutipan (2) kata “kau” merujuk pada kata
“Sunni”. Contoh tersebut memiliki prinsip bahwa kata pada sebelah kanan merujuk
kepada kata sebelumnya (sebelah kiri). Hal itu senada dengan pengertian dari
anafora.
b.
Katafora
Katafora adalah salah satu kohesi garamatikal yang berupa
satual lingual tertentu yang mengacu pada atuan lingual lain yang mengikutinya,
atau mengacu anteseden disebelah kanan, atau mengacu pada unsur yang baru
disebutkan kemudian (Indiyastini, 2006:39).
Contoh
analisis dalam naskah drama “Cermin” Karya Nano Riantiarno :
1) LAKI-LAKI :
Kau
tanamkan bibit di sini. Tumbuh sedikit demi sedikit hingga berbunga, waktu
kelopak bunga itu merekah, dia bersuara seperti terompet. Suaranya memekakkan
telinga. Dan Sunniii…gemanya!
Gemanya melengking!
Penjelasan:
Kutipan
di atas merupakan contoh katafora yang terdapat pada naskah drama “Cermin”
karya Nano Riantiarno. Pada contoh (1) kata “kau” merujuk pada kata “Sunni”,
Contoh tersebut sejalan dengan prinsip bahwa kata pada sebelah kiri merujuk
kepada kata sesudahnya (sebelah kanan). Hal itu senada dengan pengertian dari
katafora.
2.1.2
Eksophora (Luar Wacana)
Eksofora merupakan pengacuan terhadap antiseden yang
terdapat di luar bahasa (ekstratekstual), seperti manusia, hewan, alam sekitar
pada umumnya, atau suatu peristiwa (Bayu Rusman Prayitno, 2009: 2).
a.
Persona
Deiksis persona
pada dasarnya mencakup pembicara atau orang pertama, lawan bicara atau orang
kedua, dan orang ketiga. Yang menjadi pembicaraan dalam deiksis persona
adalah bentuk- bentuk nominal dan pronominal (Purwo, 1984).
|
orang pertama
|
orang kedua
|
orang ketiga
|
tunggal
|
aku, saya
|
(eng)kau, kamu, anda, sodara
|
Ia, dia, beliau
|
jamak
|
kami, kita
|
kamu (semua), anda (semua), kalian
|
mereka
|
(Purwo,1984)
Contoh analisis deiksis persona
dalam naskah drama “Cermin” :
1)
LAKI-LAKI
:
Apa ada hiasan-hiasan dindingnya? Dari apa? Kuningan apa perunggu? Lampu gantungnya dari kristal? Kamar mandinya bersih, artinya tidak terdapat lipas di sudut-sudutnya. Dapurnya bagaimana? Selalu tersedia makanan hangat dalam lemari? Aku pedagang barang antik, harus tahu secara detail perabotan-perabotan tiap ruangan yang kumasuki. Bagaimana?
Apa ada hiasan-hiasan dindingnya? Dari apa? Kuningan apa perunggu? Lampu gantungnya dari kristal? Kamar mandinya bersih, artinya tidak terdapat lipas di sudut-sudutnya. Dapurnya bagaimana? Selalu tersedia makanan hangat dalam lemari? Aku pedagang barang antik, harus tahu secara detail perabotan-perabotan tiap ruangan yang kumasuki. Bagaimana?
Penjelasan :
Kutipan diatas merupakan contoh
deiksis persona yang terdapat pada naskah drama “Cermin” karya Nano Riantiarno. Pada
contoh diatas kata “Aku” merujuk pada tokoh “Laki-Laki”. Contoh diatas
menggunakan kata-kata pengganti orang demi menghemat
percakapan.
b.
Penunjuk Benda
Di dalam bahasa Indonesia kita menyebut demontratif
(kata ganti penunjuk): ini untuk menunjuk sesuatu yang dekat dengan penutur,
dan itu untuk menunjuk sesuatu yang jauh dari pembicara. “Sesuatu” itu
bukan hanya benda atau barang melainkan juga keadaan, peristiwa, bahkan waktu.
Di
dalam bahasa Indonesia kita menyebut demontratif (kata ganti penunjuk): “ini” untuk
menunjuk sesuatu yang dekat dengan penutur, dan “itu” untuk menunjuk
sesuatu yang jauh dari pembicara. “Sesuatu” itu bukan hanya benda atau barang
melainkan juga keadaan, peristiwa, bahkan waktu.
Contoh analisis deiksis penunjuk
benda dalam naskah drama “Cermin” :
1)
Laki-Laki:
pisauku…….pisauku………mana
belati itu. Ini? Belati akan
mengakhiri perasaanmu juga
Penjelasan:
Pada
contoh nomor (1) merupakan contoh deiksis penunjuk yang terdapat pada naskah
drama “Cermin” karya Nano Riantiarno. Pada contoh (1) kata “ini” merujuk pada
“pisauku” atau pisau milik tokoh Laki-Laki.
2)
Laki-Laki:
Tapi
memang semua itu termasuk dalam perjanjian. Dan kami sudah saling
menjanjikannya, dulu waktu dia kukawini. Kenyataan ini mampu kutahan sampai
beberapa lamanya, 3 anak. Cuma itu
katanya yang bisa kuberikan padanya, ya! Tapi lihat muka anak-anak itu satu
persatu kalau mereka masih hidup. Lihat dengan teliti. Seperti siapa mereka?
Adakah persamaannya denganku? Sama sekali tidak. Yang sulung entah seperti
siapa? Yang kedua entah seperti siapa dan yang ketiga kulitnya hitam pekat
dengan mata yang bulat dan rambut keriting kecil-kecil. Anakkukah itu? Anak Su! Aku pernah punya pikiran
mungkinkah ada dokter-dokter jahil yang senang menukar-nukar bayi di RS
bersalin, atau perawat-perawatnya.
Penjelasan:
Pada
contoh nomor (2) merupakan contoh deiksis penunjuk yang terdapat pada naskah
drama “Cermin” karya Nano Riantiarno. Pada contoh (2) kata “itu” merujuk pada 3
anak yang sedang dibicarakan olehtokoh Aku.
c.
Waktu
Deiksis waktu berkaitan dengan waktu
relatif penutur atau penulis dan mitra tutur atau pembaca
(Kushartanti dkk., 2007). Perwujudan deiksis waktu dalam bentuk adverbial
lokatif seperti di sini dan di sana, adverbial demonstrative seperti ini
dan itu.
Contoh analisis deiksis waktu dalam
naskah drama “Cermin” :
1)
Laki-Laki:
Kekuatan bumi menarik kakiku dalam-dalam, menyeret
dan membakarku dalam inti magma yang paling panas! Aku merungkuk, makin merungkuk, Rasa panas yang
terkutuk membakar, memadat dalam dada. Menyiksaku tanpa ampun, hingga hari itu tiba, kau tahu seluruh tubuhku gemetar. Panas dan dingin
menjadi satu seperti nerapa. Dan kau tahu, kau tahu, kekuatan aneh itu yang
memaksaku untuk jadi babi gila.
Penjelasan:
Pada
contoh nomor (1) merupakan contoh deiksis penunjuk yang terdapat pada naskah
drama “Cermin” karya Nano Riantiarno. Pada contoh (1) kata “hari itu” merujuk
pada hari dimana kekuatan bumi menarik
kakiku (tokoh utama) dalam-dalam, menyeret dan membakarku dalam inti magma yang
paling panas.
2)
Laki-Laki:
Tahukah
kamu mengapa aku masih tetap bisa menahan diri selama ini? Masih tetap mendampinginya meski jantung perih bukan
main? Karena aku mencintai Su! Karena aku sudah bersumpah untuk tetap setia
apapun yang sudah dia lakukan.
Penjelasan:
Pada
contoh nomor (2) frasa “selama ini” merujuk pada waktu dekat atau belum lama
terjadi
d.
Tempat
Deiksis ini
merupakan pemberian bentuk kepada tempat, dipandang dari lokasi pemeran dalam
peristiwa berbahasa atau merujuk pada lokasi, ruang, atau tempat.
Contoh analisis deiksis tempat dalam
naskah drama “Cermin”:
1)
Laki-Laki:
Hee………..
Ya! Masih ada. Kukira sudah pergi bersama yang lain-lain. He, aku senang kau
masih ada. Di depan situ menatapku. Temanku Cuma kamu sekarang. Di sini pengap. Keringat tak
henti-hentinya menyembul dari pori-pori kulit. Aku khawatir kalau persediaan air
dalam tubuhku habis, pasti bukan keringat lagi yang keluar tapi darah. Dan
kalau darah sudah habis…….. sebuah pintu terbuka lebar-lebar dan aku harus
mendorong diriku sendiri untuk bilang ayo masuki ruangan besar di sebaliknya.
Ruangan besar dari sebuah gedung yang besar. Ada apa di dalamnya?
Perabotan-perabotannya bagus? Jenis kursi-kursinya dibikin dari kayu apa? Jati
tua atau mahoni? Karpetnya? Dari India atau Persia?
2)
Sampai mati……. Su! Su! Sunni!
Kenapa jadi begini? Kenapa kau pergi? Kenapa aku ada di sini? Kenapa mesti ada hal-hal yang mendorong kita melakukan
hal-hal? Kenapa kamu tidak mau menurut? Kenapa waktu kamu masih ada, rasanya
semua terang dan jelas. Tanpa kabut. Tiap kupandangi diriku di kaca, maka
kulihat ujud seorang laki-laki yang utuh. Lalu sekarang, kau entah ada di mana?
Jarak dan tembok memisahkan kita.
Penjelasan:
Pada
contoh nomor (1) dan (2) merupakan contoh deiksis tempat yang terdapat pada
naskah drama “Cermin” karya Nano Riantiarno. Pada contoh (1) dan (2) kata “di
sini” merujuk pada tempat yang disinggahi oleh tokoh Aku saat itu, tempat yang
pengab dan menyiksa yang sebenarnya hanya ada dalam khayalan sang tokoh utama.
2.2
Contoh Analisis Peranggapan pada Naskah Drama “Cermin”
Dalam ilmu bahasa, peranggapan merupakan tambahan makna
yang tidak dinyatakan, atau tersirat dari pengucapan atau penulisan kalimat.
Berikut contoh peranggapan yang terdapat
pada naskah drama “Cermin” karya Nano Riantiarno :
1)
Laki-Laki:
Kau
tanamkan bibit di sini. Tumbuh sedikit demi sedikit hingga berbunga, waktu
kelopak bunga itu merekah, dia bersuara seperti terompet. Suaranya memekakkan
telinga. Dan Sunniii…gemanya! Gemanya melengking! Tak tahan aku untuk tidak
berbuat apa-apa. Dan bisik-bisik itu. Bisik-bisik yang memerintahkan aku supaya
melakukan niatku, musnahkan! Musnahkan Hancurkan! Hancurkan biar jadi abu
sekalian. Dari abu kembali jadi abu, kata bisik-bisik itu dalam telinga.
Penjelasan:
Pada
kutipan (1) kita dapat beranggapan bahwa penonton juga dapat mendengar
bisikan-bisikan yang tokoh aku dengar.
2.3
Contoh Analisis Implikatur pada Naskah Drama
“Cermin”
Konsep implikatur ini
digunakan untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara apa yang diucapkan dengan apa yang diimplikasikan (atau
diimplikatum) (Nababan, 1928:28).
Berikut contoh implikatur yang terdapat pada naskah
drama “Cermin” karya Nano Riantiarno:
1)
Laki-Laki:
Buyung……buyung……kenapa
kamu begini lucu. Matamu besar bulat dan penuh harapan memandang padaku. Masa
depanmu terang? Rambut jagung……halus. Nafasmu sejuk…….waaaaa……
Tidak apa-apa, jangan menangis dulu. Nanti kugantikan popokmu dengan yang bersih biar kau tetap merasa hangat dan tidak masuk angin. Seorang anak mengencingi bapaknya bukankah itu hal yang biasa? Hupa……kalau kau tidak kencing nanti orang mengira kau Cuma boneka plastik. Sudah menghitung satu, orang biasanya hitung-menghitung dua juga, lalu tiga. Istriku membiakkan tiga anak!
Tidak apa-apa, jangan menangis dulu. Nanti kugantikan popokmu dengan yang bersih biar kau tetap merasa hangat dan tidak masuk angin. Seorang anak mengencingi bapaknya bukankah itu hal yang biasa? Hupa……kalau kau tidak kencing nanti orang mengira kau Cuma boneka plastik. Sudah menghitung satu, orang biasanya hitung-menghitung dua juga, lalu tiga. Istriku membiakkan tiga anak!
Penjelasan :
Pada kutipan di
atas merupakan implikatur konvensional. Tokoh laki-laki yang menjadi tokoh utama menyebut anaknya yang bernama
Buyung sebagai anak yang lucu. Buyung dikatakan sebagai anak yang lucu karena
memiliki mata yang besar dan bulat, rambut keemasan yang diimplikaturkan
seperti bulu jagung, sehingga dikatakan “rambut jagung” dan juga halus.
Kesimpulan
Pada
naskah drama “Cermin” karya Nano Riantiarno, terdapat beberapa contoh deiksis,
peranggapan, dan implikatur. Deiksis pada naskah drama ini ditemukan sebanyak 9
buah, dengan pembagian 1 buah deiksis persona, 2 buah deisis penunjuk, 2 buah
deiksis waktu, dan 2 buah deiksis tempat. Sementara itu, peranggapan pada naskah drama ini ditemukan sebanyak 1
buah, sedangkan implikatur hanya ditemukan 1 buah.
By : Priscilla Putri Elizabeth
Langganan:
Postingan (Atom)