Sabtu, 17 Januari 2015

Hakikat Wacana

I.     Hakikat Wacana
            Wacana pada dasarnya merupakan unit alamiah dengan awal (pembuka) dan akhir (penutup), dan ada sejumlah struktur internal. Unit wacana mempunyai struktur internal yang diorganisasi oleh sejumlah prinsip formal dan struktural.
Menurut Harimurti Kridalaksana, wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar (1983: 179 dalam Sumarlam, 2009:5).
Henry Guntur Tarigan (1987: 27) mengemukakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis.
James Deese dalam karyanya Thought into Speech: the Psychology of a Language (1984:72, sebagaimana dikutip ulang oleh Sumarlam,2009:6) menyatakan bahwa wacana adalah seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan suatu rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca. Kohesi atau kepaduan itu sendiri harus muncul dari isi wacana, tetapi banyak sekali rasa kepaduan yang dirasakan oleh penyimak atau pembaca harus muncul dari cara pengutaraan, yaitu pengutaraan wacana itu.
Definisi wacana klasik yang diturunkan dari asumsi kaum formalis (Struktural) adalah bahwa wacana merupakan “bahasa di atas kalimat atau klausa” (Stubbs dalam Sumarlam,dkk, 2003: 10)
Depdiknas(2003: 1265) mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam betuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah.
Sementara itu, Fatimah Djajasudarma(1994: 1) mengemukakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, menghubungkan proposisi yang satudengan proposisi yang lain, membentuk satu kesatuan, proposisi sebagai isi konsep yang masih kasar yang akan melahirkan pernyataan (statement) dalam bentuk kalimat atau wacana.
I.G. N. Oka dan Suparno(1994: 31) menyebutkan pengertian wacana sebagai satuan bahasa yang membawa amanat yang lengkap. Amir Purba (2007: http://dictum4magz.wordpress.com) mengemuka- kan bahwa wacana adalah proses komunikasi, yang menggunakan simbol-simbol, yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam sistem kemasyarakatan yang luas.
Cook(1997: 6) berpendapat bahwa kinds of language- language in use, for communication – iscalled discourse…Berdasarkan pendapat tersebut, Cook (1997: 156) mendefinisikan wacana (discourse) sebagai stretches of language perceived to be meaningful, unified, and purposive. Sedangkan Nunan mengemukakan devinisi wacana dengan mengaitkan konteks di dalamnya. Nunan(1993: 6) mengemukakan bahwa discourse refers to language in context.
Sejalan dengan pendapat Cook, Hasan Alwi, dkk(2000: 41) menjelaskan pengertian  wacana sebagai rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimatkalimat itu.  Dengan demikian sebuah rentetan kalimat tidak dapat disebut  wacana jika tidak ada keserasian makna. Sebaliknya, rentetan kalimat membentuk wacana karena dari rentetan tersebut terbentuk makna yang serasi.
Sementara itu, Norman berpendapat bahwa wacana adalah bahasa yang digunakan untuk merepresentasikan suatu praktik sosial. Norman (1997: 7) mengatakan bahwa “discourse”is use of language seen as a form of social practice….
Dengan menggabungkan beberapa pendapat, Martutik (2009. http://pustaka.ut.ac.id) mengungkapkan bahwa wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional.
Sementara itu, Sumarlam, dkk( 2003: 15) menyimpulkan dari beberapa pendapat bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog, atau secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya ( dari segi bentuk bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya( dari segi makna) bersifat koheren, terpadu.
I.G.D.Oka dan Suparno (264- 269) mengemukakan unsur- unsur wacana, antara lain (a) Topik      : mengacu pada hal yang diicarakan dalam wacana.(b) Tuturan pengungkap topik: wujud konkret tuturan tersebut adalah kalimat atau untaian kalimat yang membentuk teks. (c) Kohesi dan koherensi : kohesi  adalah keruntutan kalimat yang merupakan hubungan struktural antar kalimat dalam wacana. Koherensi adalah hubungan semantik antar kalimat atau antar bagian wacana.
Purwo Haryono(2003: 277) mengemukakan beberapa unsur berkaitan dengan wacana,yakni: (a) satuan bahasa terlengkap dan tertinggi, (b) bersifat utuh, (c) berbentuk lisan atau tertulis, (c) memiliki proposisi yang saling berhubungan ntuk membentuk kohesi, (d) memiliki koherensi tinggi.
 Berdasarkan beberapa pendapat mengenai batasan wacana di atas pengertian wacana adalah satuan bahasa lisan maupun tulis yang memiliki keterkaitan atau keruntutan antar bagian (kohesi), keterpaduan (koheren), dan bermakna (meaningful), digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial.
 Berdasarkan pegertian tersebut, persyaratan terbentuknya wacana adalah penggunaan bahasa dapat berupa rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kalimat atau ujaran).  Wacana yang berupa rangkaian kalimat atau ujaran harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity) dan kepaduan (coherent).
 Wacana dikatakan utuh apabila kalimat-kalimat dalam wacana itu mendukung satu topik yang sedang dibicarakan, sedangkan wacana dikatakan padu apabila kalimat-kalimatnya disusun secara teratur dan sistematis, sehingga menunjukkan keruntututan ide yang diungkapkan.

II.  Pengertian Analisis Wacana

Istilah wacana digunakan oleh para linguis Indonesia sebagai terjemahan dari istilah bahasa Inggris discourse. Dari istilah wacana itu lahirlah istilah analisis wacana (discourse analysis).
Pengertian analisis wacana dikemukakan oleh beberapa ahli. Pada umumnya para ahi mengemukakan,  pengertian analisis wacana melalui cara membandingkan dengan batasan wacana. Beberapa ahli menyebutkan bahwa batasan pengertian analisis wacana adalah analisis atas bahasa yang digunakan atau bahasa dalam konteks sosial pemakaian bahasa.
Stubbs di dalam Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural Language (1984:1) mengemukakan pendapatnya tentang analisis wacana, sebagaimana berikut ini.
 “ (Analisis wacana) merujuk pada upaya mengkaji pengaturan bahasa di atas klausa dan kalimat, dan karenanya juga mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas. Seperti pertukaran percakapan atau bahasa tulis. Konsekuensinya, analisis wacana juga memperhatikan bahasa pada waktu digunakan dalam konteks sosial, khususnya interaksi antarpenutur”.
Selanjutnya Stubbs (1984: 7) menyatakan “However, it has become increasingly clear that a coherent view of language, ingluding syntax must take account of discourse phenomena”. Analisis wacana menggunakan aturan-aturan atau batasan-batasan bahasa. Aturan-aturan itu termasuk sintaksis atau tata kalimat dan harus memperhatikan fenomena dari wacana.
Senada dengan yang diungkapkan oleh H. Douglas Brown seperti yang dikutip ulang oleh Sarwiji (2008: 146) bahwa komunikasi sulit kita laksanakan tanpa adanya hubungan-hubungan wacana yang merupakan hubungan antarkalimat dan suprakalimat (suprasentensial) dan tanpa adanya konteks.
 Brown and Yule ( 1996: 1) menjelaskan bahwa the analysis of discourse is, necessarily, the analysis of language in use. Sependapat dengan Brown and Yule, Nunan( 1993:7) berpendapat bahwa discourse analysis involves the study of language in use. The esertion here is the analysis of discourse involves the analysis of language use. Norman (1997: 7) mengemukakan bahwa discourse is use of language seen as a form of social practice, and discourse analysis of how textwork within sociocultural practice.
 Sejalan dengan beberapa pendapat diatas, Sarwiji Suwandi( 2008: 145) mengemukakan bahwa analisis wacana pada hakikatnya merupakan kajian tentang fungsi bahasa atau penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi.
 Sedangkan Cook mengemukakan bahwa analisis wacana berhubungan dengan pengkajian koherensi.  Cook( 1997: 6) menjelaskan bahwa the search for what gives discourse coherence is discourse analysis.
 Tentang fokus kajian analisis wacana,  McCharthy (1997: 5) menyertakan konteks dalam telaah wacana. Ia menyebutkan bahwa discourse analysis is concerned with the study of the relationship between language and the context  which it is use.  Pada buku yang lain, McCharthy(1990: 52) menegaskan bahwa discourse analysis are concerned with features that connect language with the contexts in which it is used ….  Pendapat tersebut didukung  oleh Nunan(1993: 7) bahwa context is an important concept in discourse analysis.
Kategori konteks bahasa yang menjadi ranah analisis wacana disebutkan pula oleh McCharthy(1997: 5), yakni … written texts of all kinds, and spoken data, from conversation to highly institutionalized forms to talk.
Martuik (2009.http://pustaka.ut.ac.id.) menjelaskan bahwa dalam analisis wacana berlaku dua prinsip, yakni prinsip interpretasi lokal dan prinsip analogi. Prinsip interpretasi lokal adalah prinsip interpretasi berdasarkan konteks, baik konteks linguistik atau koteks maupun konteks nonlinguistik. Konteks nonlinguistik yang merupakan konteks lokal tidak hanya berupa tempat, tetapi juga dapat berupa waktu, ranah penggunaan wacana, dan partisipan.Prinsip interpretasi analogi adalah prinsip interpretasi suatu wacana berdasarkan pengalaman terdahulu yang sama atau yang sesuai.
Menurut  Stubbs (1983) analisis wacana merujuk pada upaya mengkaji penggunaan bahasa di atas kalimat atau klausa; dan oleh karenanya, analisis wacana mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas seperti percakapan (wacana lisan) atau teks tulis.
Berdasarkan beberapa pengertian analisis wacana tersebut, pengertian analisis wacana membahas bagaimana pemakai bahasa mencerna apa yang ditulis oleh para penulis dalam buku-buku teks, memahami apa yang disampaikan penyapa secara lisan dalam percakapan, dan dengan mngemukakan pula konteks yang menyertai teks. Dengan demikian analisis wacana berupa upaya  menafsirkan suatu wacana yang tidak terjangkau oleh semantik tertentu maupun sintaksis.
III.      Unsur Wacana
IV.      Konteks Wacana
Konteks wacana menurut Del Hymes mengandung delapan unsur pembentuk, yang dirumuskan dengan baik sekali faktor-faktor penentu peristiwa tutur tersebut, melalui akronim SPEAKING. Tiap-tiap fonem mewakili faktor penentu yang dimaksudkan.
a.      Latar (setting) - S
Latar  ini mengacu pada tempat  dan waktu/tempo terjadinya percakapan. Misalnya, percakapan di rumah pada waktu malam ketika hari sudah larut.
·         Ayah         : “Sudah pukul berapa ini, nak?”
·         Anak         : “Oh iya sudah pukul 10. Biar saya masukan motor dan kunci gerbangnya, Yah.”
b.      Peserta (Participants) - P
Peserta mengacu kepada peserta percakapan, yaitu pembicara (penyapa) dan pendengar atau kawan bicara misalnya antara ayah dan anak  pada contoh diatas, keduanya merupakan peserta percakapan.
c.       Ends (hasil) - E
Hasil mengacu pada hasil percakapan dan tujuan percakapan. Misalnya, pada percakapan diatas tujuannya ialah mengingatkan sang anak untuk mengunci pagar rumah dengan cara menanyakan waktu.
d.      Act Sequences (Amanat atau Pesan) - A
Amanat mengacu pada bentuk dan isi amanat. Bentuk amanat dapat berupa surat, esai, iklan, dan lain sebagainya. Perhatikan perbedaan antara bentuk dan isi amanat berikut:
·         Ibunya berdoa, “Tuhan, semoga kami diberkahi keselamatan, dijauhi dari sengsara”
·         Ibunya berdoa memohon kepada Tuhan agar diberkahi keselamatan dan dijauhkan dari sengsara.
e.       Key (cara) - K
Key (cara) mengacu pada semangat melaksanakan percakapan, berkaitan dengan cara partisipan dalam menuturkan ujarannya, misalnya: dengan bersemangat anaknya memasukan motor ke dalam rumah dan mengunci pagar.
f.       Instrumen (sarana) - I
Instrumen (sarana) yaitu mengacu pada apakah pemakaian bahasa dilaksanakan secara lisan  atau tulis dan mengacu pula pada variasi bahasa yang digunakan. Pada percakapan di contoh (a) sarana yang digunakan berbentuk lisan, karena ujaran disampaikan langsung antara kedua peserta komunikasi.
g.      Norm (Norma) - N
Norma mengacu pada perilaku peserta percakapan. Misalnya,”diskusi’’ yang cenderung dua arah, setiap peserta memberikan tanggapan  atau argumentasi, sedangkan  pada “ceramah” komunikasi yang dilakukan cenderung satu arah. Pada contoh percakapan (a) di atas menggunakan perilaku diskusi  yaitu diskusi antara Ayah dan anak.
h.      Genre (jenis) - G
Genre (jenis) mengacu pada kategori, seperi sajak, teka-teki, doa, argumentasi, persuasi, dan narasi. Jenis kategori yang terdapat pada contoh (d) ialah doa dimana pada wacana di atas seorang ibu selalu mendoakan anaknya.
Sedangkan konteks wacana menurut Anton M. Moeliono (1988:336) dan Samsuri (1987:4), konteks terdiri atas beberapa hal, yakni situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan saluran.

2.      Sejarah Analisis Wacana
Sejarah analisis wacana dalam tulisan ini mengambil intisari dari paparan yang dikemukakan  Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2008), Mulyana (2005) dan Sri Utari Subyakto Nababan (2000). Berdasarkan uraian yang telah mereka kemukakan, dapat diketahui bahwa hingga akhir tahun 1960-an, pada umumnya kajian bahasa masih berorientasi pada kawasan mikrolinguistik, yaitu kajian bahasa yang menelaah masalah bahasa secara internal bahasa, yakni kajian tentang tata kalimat (sintaksis); morfologi, dan tata bunyi (fonologi).
Dalam sejarah perkembangannya, seorang linguis kenamaan bernama Zellig S. Harris menyatakan ketidak puasannya terhadap “tata bahasa kalimat”. Selanjutnya artikel “Discourse Analysis” yang dimuat di majalah Language nomor 28:1-3 dan 474-494  dipublikasikannya. Dalam tulisannya itu, Harris mengemukakan argumentasi tentang perlunya mengkaji bahasa secara komprehensif, tidak hanya berhenti pada aspek internal-struktural semata tetapi aspek eksternal bahasa juga perlu dikaji untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas.
Seperti yang diungkapkan oleh Dede Oetomo, pernyataan Harris tersebut agak melawan arus aliran linguistik yang berkembang di Amerika yaitu aliran strukturalisme buah pikiran Bloomfield (1887-1949) yang dengan tegas memisahkan kajian sintaksis dari semantik dan hal-hal lain di luar kalimat (dalam Mulyana, 2005:67).
Awal tahun 1970-an mulai berkembang kajian bahasa yang menitikberatkan pada bidang makrolinguistik, yaitu telaah bahasa di atas tataran kalimat atau klausa. Dalam kajian makrolinguistik, orang akan mempermasalahkan bagaimana kalimat satu berhubungan dengan kalimat lain secara kohesif dan koheren untuk membentuk satuan kebahasaan yang lebih besar.  Salah satu bentuk kajian makrolinguistik adalah analisis wacana (discourse analysis).
Sementara itu, di Amerika muncul pendekatan sosiolinguistik yang dipelopori oleh Dell Hymes, yang antara lain  mengkaji masalah percakapan, komunikasi, dan bentuk sapaan, yang nantinya berkembang menjadi kajian wacana yang lebih luas. Ia berpandangan agak berbeda dengan pendahulunya, yaitu Chomsky. Keberterimaan menurut Chomsky (1965) berbeda dengan keberterimaan menurut Hymes (1987). Melalui teorinya, Tatabahasa Generatif (Generative Grammar), Chomsky berpandangan bahwa kalimat yang gramatikal adalah kalimat yang sesuai dengan kaidah kebahasaan, menurut aturan atau sistem bahasa yang berlaku pada bahasa itu; sedangkan kalimat yang berterima adalah kalimat yang lebih cenderung dipilih untuk digunakan, lebih mudah dipahami, dan lebih alami. Bagi Hymes, kalimat yang berterima merupakan kalimat yang penggunaannya telah sesuai dengan konteks pemakaiannya.
Analisis wacana (discourse analysis) sebagi disiplin ilmu, baru benar-benar berkembang secara mantap pada awal tahun 1980-an. Berbagai buku kajian wacana terbit pada dasawarsa itu, misalnya Stubbs (1983), Brown dan Yule (1983), dan yang paling komprehensif adalah karya Van Dijk (1985).
Analisis wacana di Indonesia mulai diperhatikan sejak tahun 80-an bersamaan dengan munculnya kajian pragmatic dalam bahasa Indonesia. Bahkan pragmatic tertuang secara ekspisit dalam kurikulum pendidikan tahun 1984 di Indonesia.
3.      Data dalam Analisis Wacana
Data dalam analisis wacana adalah wacana yang merupakan satuan  bahasa. Satuan bahasa  dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Abdul Rani,Bustanul Arifin, dan Martutik(2006: 9) menyebutkan bahwa wacana dapat berbentuk lisan atau tulis. Lebih jelas mereka mengemukakan bahwa data dalam analisis wacana selalu berupa teks baik teks lisan maupun tertulis.           Brown and Yule (1996: 6) juga memakai teks sebagai istilah teknis untuk mengacu pada rekaman verbal tindak komunikasi. Mereka juga menjelaskan tentang realisasi teks yang terdiri atas teks tertulis dan lisan. Halliday dan Ruqaya Hasan ( 1994 :13) mengemukakan bahwa teks adalah bahasa yang berfungsi. Yang dimaksud fungsi adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas- tugas tertentu dalam konteks situasi. Berdasarkan pengertian teks tersebut, semua bahasa yang mengambil bagian tertentu dalam konteks situasi akan disebut teks. Bahasa tersebut mugkin dalam bentuk tutur dan tulis. 
Sri Utari Subyakto Nababan (2000) mengemukakan bahwa ruang lingkup analisis wacana dewasa ini sudah sangat luas. Kemudian dalam bukunya, Sri Utari subyakto Nababan memfokuskan ruang lingkup analisis wacana dalam bentuk analisis wacana lisan dan tulisan sebagaimana dikemukakan oleh Brown and Yule.  
Tentang fokus kajian analisis wacana,  McCharthy (1997: 5) menyertakan konteks dalam telaah wacana. Ia menyebutkan bahwa discourse analysis is concerned with the study of the relationship between language and the context  which it is use.  Analisis wacana mempelajari hubungan antara bahasa dan konteks yang melatarbelakanginya. Pendapat tersebut didukung  oleh Nunan bahwa konteks adalah konsep penting dalam analisis wacana. Nunan(1993: 7) menyebutkan context is an important concept in discourse analysi. Kategori konteks bahasa yang menjadi ranah analisis wacana disebutkan pula oleh McCharthy(1997: 5), yakni … written texts of all kinds, and spoken data, from conversation to highly institutionalized forms to talk.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, data kajian analisis wacana yang akan dikemukakan dalam pembahasan pada tulisan ini adalah data berupa teks lisan, teks tertulis, dan konteks.


NB: dikutip dari berbagai sumber
By : Priscilla Putri Elizabeth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar