Sabtu, 17 Januari 2015

Analisis Wacana Cerpen Batu Betina Karya Syarif Hidayatullah

Analisis Wacana Cerpen Batu Betina Karya Syarif Hidayatullah


Dengan menggunakan Cerpen Batu Betina Karya Syarif Hidayatullah, maka akan dianalisis konteks wacanayang terdapat pada peristiwa komunikasi yang ada di dalam cerpen. Berikut ini lampiran cerpen yang berjudul Batu Betina:
Ketika jari hujan kesepuluh mengetuk atap seng hingga membuat gaduh, pada saat itulah dengan bibir gemetar dan jari tangannya menarik biji kayu kedua lima, Basma berusaha bertanya pada Bapak dan ibunya.
“Apa benar Ibu bekerja di warung remang – remang?”
Pertanyaan itu telah dipilihnya dari banyak pertanyaan yang menggantung di kepalanya. Ia berfikir pertanyaan itu lebih sopan dibanding pertanyaan lainnya, meski sebetulnya pertanyaan itu tentu sangat menyudutkan. Buktinya, ia melihat mata bapaknya itu terbelalak dan pada detik itu pula lelaki itu menatap istrinya,ibunya. Perempuan kurus itu, dengan baju hitam yang kini dikenakannya pun menatap suaminya itu. Mereka saling tatap dan tatapan itu bagi Basma melahirkan perasaan yang menyakitkan. Berarti benar, batinnya.
“Mengapa kamu berbicara seperti itu?” Tanya bapaknya kemudian setelah kesunyian yang memanjang. Basma melihat lelaki itu tidur di atas bangku yang terbuat dari bambu. Setiap hari bapaknya diam disitu, kecuali hendak berak, kencing dan berwudhu. Sejak kecelakaan lima tahun yang lalu, Basma tahu jika kejadian itu telah membunuhs separuh hidup bapaknya itu.
Basma memetik tasbihnya kembali. Ia menarik napas. Bukan sekali dua kali ia mendengar berita itu dari jamaah masjid seusianya. Sejak lima hari lalu ia pulang dari pesantren setelah enam tahun ia menimba ilmu dan tak pulang – pulang. Mendengar kabar menjurus penghinaan iti tentulah sangat merobek hatinya.
“Kau berani menjadi imam? Kau pikir kau siapa? Kau tak tahu bila ibumu bekerja diwarung remang – remang, hah?” ujar seorang jamaah padanya sesaat ia menjadi imam shalat meghrib di masjid. Hampir saja ia memukuli lelaki itu, tetapi ia malu pada tasbih yang ada di genggamannya saat itu.
Celakanya, tidak hanya orang masjid yang tahu perihal itu. Bahkan pemuda pemabuk yang tak pernah sekalipun ia lihat ke masjid. Terang – terang menghinanya, saat ia menolak ajakan para pemuda itu untuk main kartu.
“Jangan sok alim kau Basma. Lihat saja kelakuan ibumu. Lonte!”
Basma pun menceritakan semua kejadian itu. Dan ia lihat bapaknya menampakkan wajah yang datar saja. Itu berarti bapaknya telah tahu semua ini,  batin Basma.
Hujan diluar masih gaduh. Angin gemuruh. Daun – daun mengaduh. Dan satu garis kilat menggaris cakrawala yang pekat. Bapaknya menyulut sebuah rokok kretek. Asap melingkar – lingkar dan berputar – putar memenuhi ruangan. Basma menatap wajauh lelaki itu.
“Memang ibumu itu kerja di warung remang – remang…” ujar bapaknya sambil lalu menghisap kembali rokoknya.
“Jadi, selama ini, uang yang digunakan untuk biaya pendidikanku di pesantren dari hasil kerja ibu diwarung remang – remang? Ya Allah, Ya Rabb, ampunilah dosa hamba!”
Basma benar – benar terkejut. Sebetulnya ia berharap jika bapaknya itu tidak berkata seperti itu. Karena selama yang ia tahu, ibunya itu menjadi buruh cuci dengan mencuci pakaian para tetangga. Tapi? Ah, Basma benar – benar kecewa. Ia menatap mata ibunya. Selama ini, Basma selalu dididik untuk menghormati ibu. Tetapi apakah pantas perempuan yang ada dihadapannya ini dihormati?
“Tapi tak seperti yang kau fikirkan Nak, ibu hanya….,”ujar ibunya.
“Cukup Bu! Cukup! Basma menutup wajahnya. Dan air mata mengalir begitu cepat hingga menyentuh bibir. Basma ingat ia pernah turut serta dalam mendemonstrasikan tempat hiburan malam yang berada tak jauh dari lingkungan pesantrennya. Kini, justru ibunya – lah yang berada dalam dunia itu dan uang dari hasil itu mengalir dalam darahnya. Astaghfirullah!
“Ibu telah mengalirkan dosa ke dalam darahku. Kau bukan ibu, kau sama saja dengan binatang. Tak patut disebut ibu. Kau itu Betina!” hardik Basma.
Perempuan kurus itu menatap Basma dengan air mata yang hampir tumpah.  Dan kemudian terisak menyaksikan anak satu – satunya itu menghinanya. Selama ini ia telah bekerja menjadi buruh cuci. Tetapi itu tak cukup untuk menghidupi suami dan anaknya itu. Ia juga punya tanggungan hutang yang cukup banyak yang tak cukup sepuluh tahun menyicilnya. Untuk itu, ia memutuskan untuk bekerja pada malam harinya. Selepas isya, ia akan segera pergi…
“Kau tak boleh bicara seperti itu pada ibumu,” ujar bapaknya berusaha menenangkan. Tetapi kemarahan Basma telah memuncak, meledak.
“Batu! Bapak itu batu. Mengapa diam saja? Mengapa tidak melarang ibu berada didalam jalan yang sesat? Tak ada suami yang membiarkan istrinya bekerja kotor macam itu kecuali ia adalah batu. Dasar Batu!” Basma mencoba untuk mempertanyakan sambil kemudian menghardik. Ia lihat kemudian bapaknya diam. Tak mengeluarkan satu kata apapun. Sebetulnya batin bapaknya itu teriris. Tapi apa yang dapat ia katakan. Ia sendiri memang tak dapat melakukan apa – apa sejak tubuhnya ditabrak mobil hingga tulang – tulang kakinya remuk dan lantas harus diamputasi. Bagitu juga syaraf – syaraf ditangannya yang sudah tak sempurna sehingga untuk makan saja, ia bahkan harus bersusah payah.
“Minumlah airnya dulu. Agar kau tenang,”ujar ibunya kemudian.
Basma melihat air putih itu. Tiba – tiba dimatanya itu berubah menjadi pekat dan bau seperti air selokan.
“Tidak Betina, air itu dosa!” Basma langsung pergi meninggalkan kedua orang tuanya itu.
***
Pagi – pagi sekali Basma sudah siap pergi. Ia hendak mencari kerja. Kemarin rekannya memberi tahu,jiak sekolah dasar di ujung gang kampung ini membutuhkan seorang guru agama. Basma yakin, ia akan dengan mudah mendapatkan pekerjaan itu. Selain penguasaan ilmu agama yang baik, Basma pun pandai berbicara bahasa Arab yang merupakan alat komunikasi tunggal di pesantrennya.  Keyakinan itu, menurut Basma sangatlah beralasan.
Sampai disekolah ia disambut dengan hangat, ia dipuji pengetahuan soal agama pun, kepala sekolah mengangguk – angguk mendengar pemaparannya yang terperinci dan penuh dengan dalil Al – Quran maupun hadits.
“Siapa nama orang tuamu?”
Basma hampir saja menjawab, Batu dan Betina. Tapi ia kemudian dapat menguasai diri. “Bapak saya Tamrin dan ibu saya. Basra, Pak.”
Mendengar jawaban Basma, kepala sekolah seperti terkejut dan lalu memanggil guru lain dan mereka saling berbisik. Tak lama kepala sekolah pun berkata, “Maaf ya Dik. Sebetulnya kemampuan Adik kami butuhkan. Tetapi. Karena saat ini tenaga pengajar disekolah ini lebih dari cukup. Maka kami menolak lamaran Adik.”
Keyakinan dalam hati Basma runtuh, rasa kesal dan marah menggumpal. Teraduk –aduk dalam perasaannya yang teriris. Penolakan kepala sekolah itu, jelas hanya alas an yang dibuat – buat. Sebab, jelas rekannya itu tak mungkin berbohong karena ia masih mengajar pula disekolah ini. Ini semua gara – gara Batu Betina itu1
Basma hampir saja putus asa. Tetapi seketika ia ingat warung Haji Jaman. Lelaki tua itu membutuhkan seorang pelayan. Barangkali ia akan menerima dirinya untuk bekerja diwarung sate kambing yang ramai pembelinya itu. Tak apalah, meski sebetulnya ia tidak dapat mengamalkan ilmu yang didapatnya di pesantren itu. Ia pun bergeas dan lantas hidupnya seperti roboh dan hancur berkeping setiap kali terbentur pada pertanyaan.
“Siapa nama orang tuamu?”
Kemudian ia mencari pekerjaan kembali. Dan lagi – lagi terbentur pada pertanyaan itu. Tetapi Basma kali ini menjawab dengan tegas dan hati yang mengeras.
“Bapak saya Batu, ibu saya Betina. Aku memanggil mereka Batu Betina!”
Saat ia berkenalan dengan orang – orang kampung yang baru dikenalnya dan orang – orang itu bertanya tentang siapa orang tuanya, Basma pun menjawab,”Batu Betina!”
Basma tiba dirumah dengan tubuh lelah bercampur amarah. Ia lihat bapaknya yang tidur diatas bangku kayu dan ibunya duduk sehasa disamping bapaknya itu. Ibunya itu kemudian segera menghampirinya.
“Bagaimana? Diterima lamaranmu!”tanyanya.
Bukan menjawab pertanyaan ibunya. Amarah Basma malah meledak. “Dasar Betina. Ini semua gara – garamu!”
Basma kemudian meninggalkan perempuan itu dan lalu mengamasi pakaiannya. “Sebaiknya aku pergi jauh – jauh dari rumah ini. Selama orang – orang masih mengenal kalian. Aku tak akan dapat bekerja!”
Basma pun pergi. Tapak –tapak kakinya jauh meninggalkan rumah yang menyimpan masa kanak – kanaknya itu.
“Mengapa menjadi seperti ini Pak? Kita sudah membesarkannya agar ia dapat merawat kita. Aku sudah lelak Pak bekerja siang dan malam dan dicemooh banyak orang hanya karena aku bekerja di warung remang – remang. Padahal aku hanya pelayan. Tidak lebih! Aku rasanya ingin berhenti. Tapi hutang akibat pengobatanmu mahal itu, masih belum terlunasi…”
Dan Basma tak mendengar kata – kata itu.
***
Basma mengerutkan keningnya, ia berjalan sendiri di antara dinding – dinding cahaya. Ketika ia menemukan pintu, ia ragu tetapi rasa penasaran di dadanya lebih besar. Kemudian ia memutuskan untuk membuka itu. Sasaat pintu telah ia buka, tubuhnya seperti ditarik kencang sekali. Ia melayang – layang lama dengan kecepatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sampai akhirnya kecepatan itu berakhir dan ia telah berjalan kembali disebuah padang pasir luas dengan matahari sejengkal di atas kepalanya. Rasa haus mencekik lehernya dan ia kemudian terbungkuk – bungkuk lalu merangkak pelan dengan keringat bercucuran dan saat ia hendak jatuh, langit seperti berputar – putar. Mula – mula pelan dan kemudian begitu cepat seperti roda mobil yang dipacu dalam kecepatan tinggi, hingga ia kemudian hanya dapat memejamkan matanya.
Saat ia sadar. Ia sudah sampai pada sebuah titian yang terbuat dari benang yang sangat tipis sekali dan terlihat begitu panjang sampai ia tak temukan pangkalnya. Dibawah titian itu, sungat merah mengalir, asap meluap – luap, dan bau anyir sampai terhisap. Basma terpesona, dan entah mengapa perasaannya membawa kaki – kakinya itu bergerak. Celaka. Saat kali pertama ia menginjak, ia sudah hampir jatuh. Sehingga dengan bertumpu pada tangan dan kakinya, ia meniti sedikit demi sedikit dengan menggelantung. Benang tipis yang ia lewati begitu kuat, tetapi tangan – tangannya terasa panas. Sedang ujung tiitan ini belum juga terlihat. Sesaat ia menyerah, tetapi ketika tercium bau anyir. Ia berpegang makin erat. Sampai akhirnya, ia melihat sebuah pintu di ujung titian itu. Ia tersenyum sumringah dan menyegerakan langkah – langkah tangan dan kakinya.
Tepat didepan pintu itu, kini Basma telah berdiri. Saat ia hendak membuka pintu, ia dikejutkan dengan suara yang entah dari mana.
“Apa yang hendak kau lakukan disini manusia?”
“Apakah ini pintu surga? Aku telah melewati padang mahsyar dan sirotol mustakim. Ini saatnya aku masuk surga.”jawab Basma. Sejak ia memasuki ruang cahaya itu. Ia sudah terfikir jika sebetulnya ias udah tidak dibumi. Dan suara itu, pastinya suara malaikat seperti yang pernah diajari ustadnya.
Kemudian suara itu bertanya pada Basma soal Tuhannya, Rasulnya dan agamanya. Basma tentu saja dapat menjawab dengan mudah menajwabnya.
“Ah, kau memang ahli ibadah manusia. Tetapi aku memiliki satu pertanyaan lagi,”
“Apa itu?”Tanya Basma panasaran. Ia yakin dapat menjawabnya.
“Jika kau dapat menjawabnya, aku akan masukkan kau ke dalam surga. Tetapi bila tidak, neraka menunggumu.
Basma merinding mendengar kata neraka. Ia tahu, jika sungai yang mengalir dibawah tadi adalah sungai yang begitu panas yang dengan mudah akan mengupas kulitnya.
“Siapa Bapak dan Ibumu?”
Ah, lagi – lagi pertanyaan ini. Kali ini ia tersenyum mendengar pertanyaan itu, sebab Basma tentu saja kana mudah menjawabnya. Basma kemudian tersenyum sambil berkata, “Batu Betina.”
“Apa? Siapa nama Bapak dan Ibumu?” tagas suara itu.
“Batu Betina,” Basma heran. Kaget. Mengapa yang keluar kata – kata itu?
“Kau mempermainkanku. Siapa orang tuamu?” kali ini suara itu lebih meninggi.
Basma gemetar. Kaki – kakinya lemas. Dalam hatinya ia dapat menyebut nama kedua orang tuanya itu tetapi mengapa yang keluar…..
“Cepat jawab!”hardiknya.
“Batu Betina,”jawab Basma dengan bibir gemetar.
“Sekali lagi kau menjawab seperti itu, akan kuceburkan kau kedalam neraka!”
Basma menangis – nangis. Ia sujud. Tubuhnya gemetar. Ia kemudian menatap pintu bercahaya. Terukir indah. Melekuk Beremas. Berkaca – kaca matanya seperti batu Kristal yang bening.
“Batu Betina….”
Dan Basma merasa seluruh tubuhnya ditarik begitu cepat ke atas. Seperti peluru yang baru diletuskan, ia meluncur kencang dan cepat sekali dan…
“Pasien nomor lima sudah sadar, Dok!” terang suara tak jauh disampingnya. Basma melihat sekelilingnya. Ternyata ia dirumah sakit. Ia baru ingat bila sebelumnya bis yang dia tumpangi manabrak sebuah pembatas jalan dan meluncur deras ke jurang.
Seorang dokter didampingi seorang suster kemudian menghampirinya. Menanyakan keadaan dan apa yang dirasakan Basma. Basma mampu menjawab semua pertanyaan itu, termasuk menunjukkan perih tangannya yang kini diperban. Tetapi kemudian menangis saat mendengar pertanyaan,
“Orang tua Bapak siapa? Biar nanti akan kami hubungi.”
“Tarmin…Basrah…,”jawab Basma dengan bibir gemetar dan dengan perasaan rindu yang ganjil menyebutkan nama itu. ***

Analisis menurut taeori Dell Hymes (SPEAKING)
  1. Latar (Setting/Scene)
Cerpen “Batu Betina” mempunyai setting atau tempat dirumah Basma, disekolah tempat Basma melamar pekerjaan, dan dirumah sakit.  Pada setting di rumah Basma, psikologis pembicaraan Basma terlihat bahwa ia sangat kesal dan amarahnya memuncak sehingga ia menghardik Bapak dan ibunya yang dianggap sebagai Batu Betina.
2.      Peserta (Participants)
Participants atau pendengar yang terlibat dalam cerpen “Batu Betina” ini adalah:
  1. Orang tua dari si tokoh utama yang disebut sebagai “Batu Betina”.
  • Ibu telah mengalirkan dosa ke dalam darahku. Kau bukan ibu, kau sama saja dengan binatang. Tak patut disebut ibu. Kau itu Betina!” hardik Basma.
  • “Batu! Bapak itu batu. Mengapa diam saja? Mengapa tidak melarang ibu berada didalam jalan yang sesat? Tak ada suami yang membiarkan istrinya bekerja kotor macam itu kecuali ia adalah batu. Dasar Batu!” Basma mencoba untuk mempertanyakan sambil kemudian menghardik.
2.      Sebuah suara yang dianggap Basma adalah malaikat.
  • “Apa yang hendak kau lakukan disini manusia?”
  • “Jika kau dapat menjawabnya, aku akan masukkan kau ke dalam surga. Tetapi bila tidak, neraka menunggumu.
  • “Sekali lagi kau menjawab seperti itu, akan kuceburkan kau kedalam neraka!”


3.      Hasil (Ends)
Pengarang dalam menulis cerpen ini mendapatkan apresiasi yang baik dari para pembacanya, ia mendapat sambutan yang cukup bagus dikalangan masyarakat. “Syarif dengan lugas mengemas cerita dengan garapan yang mengalir. Maka dari itu, ia seolah – olah tidak mengarang tetapi sedang bercerita (Benny Arnas, Cerpenis). “Cerpen Batu Betina Syarif, tak hanya mengajak pembacanya memandang sebelah mata dengan berbagai peristiwa sehari – hari, namun ia juga mengajak kita untuk merasakan sekaligus merenunginya. (Mahwi Air Tawar, Penulis).
4.      Amanat (Act Sequence)
Pengarang menyampaikan amanat kepada semua pembacanya agar kita tidak boleh durhakan kepada orang tua, sekalipun orang tua kita bekerja dijalan yang sesat tetapi semua itu dilakukan hanya untuk menghidupi keluarganya. Dan jangan sekali – kali menyebut orang tua kita dengan sebutan atau panggilan yang tidak pantas karena itu akan membawa kita pada kebiasaan yang buruk.
5.      Cara (keys).
Pengarang menulis cerpen tersbut dengan lugas mengemas cerita dengan garapan yang mengalir. Maka dari itu, ia seolah – olah tidak mengarang tetapi sedang bercerita. Pengarang juga tak hanya mengajak pembacanya memandang sebelah mata dengan berbagai peristiwa sehari-hari, namun ia juga mengajak kita untuk merasakan sekaligus merenunginya. Konteks cerpen-cerpen Syarif yang termaktub dalam antologi Batu Betina, ia telah menjadi pembaca dan sekaligus pencatat peristiwa-peristiwa yang kemudian ia tuturkan lagi sebagai rangkaian cerita yang mudah kita pahami. Batu Betina, mencampuraduk unsur-unsur fiktif dan realis, sehingga di sinilah letak kekuatan bercerita Syarif. Cerpen-cerpen dalam antologi ini mencerminkan kreativitasnya sebagai cerpenis yang merespon, memotret dan merefleksikan realitas keseharian kita.

6.      Sarana (Instruments)
Dalam cerpen ini pengarang menggunakan bahasa tulis  yang disampaikan melalui media buku.
7.      Norma (Norm)
Norma yang terlihat pada cerpen ini sangatlah menonjol yaitu norma agama, bahwa setiap anak yang durhaka kepada orang tuanya akan mendapat hukuman.
8.      Jenis (Genre)

Jenis wacana yang disampaikan pengarang adalah cerpen yang memotret dan merefleksikan realitas kehidupan sehari – hari.



By : Priscilla Putri Elizabeth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar