Senin, 21 Januari 2013

Artikel Populer Puisi Catatan Karya Seno Gumira Ajidarma Dengan Pendekatan Ekspresif



Artikel Populer Puisi Catatan Karya Seno Gumira Ajidarma Dengan Pendekatan Ekspresif
               
            Mengkaji suatu karya sastra yaitu puisi dapat menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu, seperti halnya dengan menggunakan pendekatan ekspresif. Pada hakikatnya pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menekankan pada ekspresi perasaan atau temperamen, pikiran dan diri penulis atau pengarang. Ada pula yang mengatakan bahwa pendekatan ekspresif yaitu suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca (Aminuddin, 1987:42).
            Sedangkan menurut Semi (1984), pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menitikberatkan perhatian kepada upaya pengarang atau penyair mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra.Pendekatan ekspresif disebut juga pendekatan emotif. Di dalam pendekatan ekspesif, pengarang atau penyair berupaya mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra, sehingga menarik emosi atau perasaan pembaca. 
            Cara yang digunakan pengarang dalam mengekspresikan ide-idenya melalui gaya (style pengarang).Gaya merupakan cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapai (Aminuddin,1945:V).
            Pendekatan ekspresif dalam puisi harus memperhatikan apa maksud yang diciptakan oleh pengarang atau penyair, memperhatikan makna yang terkandung dalam puisi tersebut dan juga harus memperhatikan biografi si  pengarang atau penyair puisi tersebut.
            Dalam artikel ini penggunaan pendekatan ekspresif digunakan pada puisi Catatan karya seorang sastrawan Indonesia yang bernama Seno Gumira Ajidarma. Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston pada tanggal 19 Juni 1958 dan dibesarkan di Yogyakarta. Puisinya yang pertama dimuat dalam rubrik "Puisi Lugu" majalah Aktuil asuhan Remy Silado, cerpennya yang pertama dimuat di surat kabar Berita Nasional, dan esainya yang pertama, tentang teater, dimuat di surat kabar Kedaulatan Rakyat.
            Seno kemudian mendirikan "pabrik tulisan" yang menerbitkan buku-buku puisi dan menjadi penyelenggara acara-acara kebudayaan.Pada tahun yang sama Seno mulai bekerja sebagai wartawan lepas pada surat kabar Merdeka. Tidak lama kemudian, ia menerbitkan majalah kampus yang bernama Cikini dan majalah film yang bernama Sinema Indonesia. Setelah itu, ia juga menerbitkan mingguan Zaman, dan terakhir ikut menerbitkan (kembali) majalah berita Jakarta-Jakarta pada tahun 1985.
            Pekerjaan sebagai wartawan dijalani Seno sambil tetap menulis cerpen dan esai.Selama menganggur, Seno kembali ke kampus, yang ketika itu telah menjadi Fakultas Televisi dan Film, Institut Kesenian Jakarta. Ia menamatkan studinya dua tahun kemudian. Setelah sempat diperbantukan di tabloid Citra, pada akhir tahun 1993 Seno kembali diminta memimpin majalah Jakarta-Jakarta, yang telah berubah menjadi majalah hiburan.
            Hingga kini Seno telah menerbitkan belasan buku yang terdiri kumpulan sajak, kumpulan cerpen, kumpulan esai, novel, dan karya nonfiksi.Atas prestasinya di bidang penulisan cerita pendek, Seno Gumira Ajidarma mendapat penghargaan dari Radio Arif Rahman Hakim (ARH) untuk cerpennya Kejadian (1977), dari majalah Zaman untuk cerpennya Dunia Gorda (1980) dan Cermin (1980, dari harian Kompas untuk cerpennya Midnight Express (1990) dan Pelajaran Mengarang (1993), dan dari harian Sinar Harapan untuk cerpennya Segitiga Emas (1991). Selain itu, Seno juga memperoleh Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk kumpulan cerpen Saksi Mata (1995) dan Penghargaan South East Asia (S.E.A.) Write Award untuk kumpulan cerpen Dilarang Mennyanyi di Kamar Mandi (1997).
            Pendekatan ekspresif dalam puisi Catatan karya Seno Gumira Ajidarma berikut ini:
                         
CATATAN
si bocah berjongkok dan menangis
memandang buih lautan : akukah kau cari?
suara-suara samodra menggoda manja
si bocah menangis semakin keras
dan senja mengendap, matahari berbisik

: akulah ibumu

            Diksi si bocah mewakilkan perasaan si penyair yang mengecilkan dirinya. Kata ganti bocah dalam puisi tersebut menggambarkan anak-anak desa yang lugu dan sedang mencari-cari ibunya atau rindu dengan ibunya. Diksi dalam Berjongkok dan menangis dalam puisi tersebut menggambarkan si bocah sudah merasa tidak kuat lagi menahan beban yang dialami. Dengan beban yang dialaminya tersebut si bocah meluapkan ekspresinya dengan menangis. Dalam puisi ini juga terdapat diksi si bocah menangis semakin keras yang menggambarkan bagaimana perasaan yang dialami si bocah. Si bocah ini merasakan apa yang dia cari tidak ditemukan sampai pada titik lelahnya. Rasa lelah yang dirasakan oleh si bocah ini tumpah seiring dengan luapan ekspresi si bocah yaitu dengan menangis, menangis lebih keras.
            Citraan pendengaran yang digunakan dalam diksi matahari berbisik: Akulah ibumu menggambarkan sebuah kata-kata yang dimasukkan  ke dalam hati si bocah dengan lembut, dengan  bisikan yang  jauh menelusup kedalam  perasaan si bocah. Jika dibandingkan dengan  menggunakan diksi  matahari berbicara tentu yang terjadi  sangat aneh, karena seolah suara matahari sangat jelas dan dekat seperti layaknya manusia. Bila diksi yang dipakai  matahari berbicara akan mengurangi efek masuknya makna yang dibisikkan secara lembut kedalam hati dan perasaan si bocah.
            Citraan penglihatan yang digunakan dalam diksi memandang buih lautan menggambarkan dalam  hamparan  lautan  hanya buih-buih saja yang dilihatnya. Hanya sebagaian kecil dari lautan yang terlihat dalam pandangannya. Terlihat pula citraan  perasaan yang ditumpahkan dalam diksi si bocah berjongkok dan menangis dan  si bocah menangis semakin keras menggambarkan suasana hati yang sangat sedih dan pilu, karena betapa merindu kepada sang ibu. Citraan perasaan ini juga digambarkan dalam bait dan senja mengendap, matahari berbisik: akulah ibumu yang menggambarkan bahwa sang  ibu  merasakan bahwa anaknya rindu dengan dirinya, walaupun sang ibu pun jauh dari anaknya sendiri.
            Majas personifikasi yang digunakan dalam puisi tersebut yaitu pada bait suara-suara samodra menggoda manja  menggambarkan deburan-deburan ombak di lautan, yang karena suasana hati si bocah deburan-deburan ombak itu mengalami pembiasan menjadi seperti suara-suara yang datang entah dari mana asalnya dan merayu-rayu si bocah dengan manja. Majas personifikasi yang dipakai penyair dalam puisi ini terdapat pada bait dan senja mengendap, matahari berbisik yang seolah olah senja itu hidup bagaikan manusia, manusia yang perlahan pergi meninggalkan si bocah sendiri. Matahari pun menjadi hidup layaknya manusia yang dapat berbisik kepada si bocah, membisikan kata yang mengungkapkan suatu hal, yaitu sang ibu si bocah itu. Si Bocah  sendiri juga merupakan majas, yaitu simbol dari si penyair atau aku lirik yang sangat halus.
            Bila dilihat dengan secara umum, makna puisi yang diciptakan oleh Seno ini menggambarkan perasaan Seno atau penyair yang merindukan sang ibu, atau sesuatu yang dianggap seperti ibu, dan sementara ibunya berada nan jauh di sana: di tempat senja mengendap. Dalam puisi ini Seno atau penyair yang telah menginjak usia dewasa merasakan dirinya menjadi seorang anak kecil kembali. Seno sang penyair merasakan rindu yang hebat menerpa dirinya, rindu kepada sang ibu.
 



By : Priscilla Putri Elizabeth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar