Artikel Populer Puisi
Catatan Karya Seno Gumira Ajidarma Dengan Pendekatan Ekspresif
Mengkaji
suatu karya sastra yaitu puisi dapat menggunakan pendekatan-pendekatan
tertentu, seperti halnya dengan menggunakan pendekatan ekspresif. Pada
hakikatnya pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menekankan pada ekspresi
perasaan atau temperamen, pikiran dan diri penulis atau pengarang. Ada pula
yang mengatakan bahwa pendekatan ekspresif yaitu suatu pendekatan yang berusaha
menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca (Aminuddin,
1987:42).
Sedangkan
menurut Semi (1984), pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang
menitikberatkan perhatian kepada upaya pengarang atau penyair mengekspresikan
ide-idenya ke dalam karya sastra.Pendekatan ekspresif disebut juga pendekatan
emotif. Di dalam pendekatan ekspesif, pengarang atau penyair berupaya
mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra, sehingga menarik emosi atau
perasaan pembaca.
Cara
yang digunakan pengarang dalam mengekspresikan ide-idenya
melalui gaya (style pengarang).Gaya
merupakan cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan
tujuan dan efek yang ingin dicapai (Aminuddin,1945:V).
Pendekatan
ekspresif dalam puisi harus memperhatikan apa maksud yang diciptakan oleh
pengarang atau penyair, memperhatikan makna yang terkandung dalam puisi
tersebut dan juga harus memperhatikan biografi si pengarang atau penyair puisi tersebut.
Dalam artikel ini
penggunaan pendekatan ekspresif digunakan pada puisi Catatan karya seorang
sastrawan Indonesia yang bernama Seno Gumira Ajidarma. Seno
Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston pada tanggal 19 Juni 1958 dan dibesarkan
di Yogyakarta. Puisinya yang pertama dimuat dalam rubrik "Puisi Lugu"
majalah Aktuil asuhan Remy Silado, cerpennya yang pertama dimuat di surat kabar
Berita Nasional, dan esainya yang pertama, tentang teater, dimuat di surat
kabar Kedaulatan Rakyat.
Seno kemudian mendirikan
"pabrik tulisan" yang menerbitkan buku-buku puisi dan menjadi
penyelenggara acara-acara kebudayaan.Pada tahun yang sama Seno mulai bekerja
sebagai wartawan lepas pada surat kabar Merdeka. Tidak lama kemudian, ia
menerbitkan majalah kampus yang bernama Cikini dan majalah film yang bernama
Sinema Indonesia. Setelah itu, ia juga menerbitkan mingguan Zaman, dan terakhir
ikut menerbitkan (kembali) majalah berita Jakarta-Jakarta pada tahun 1985.
Pekerjaan sebagai wartawan dijalani
Seno sambil tetap menulis cerpen dan esai.Selama menganggur, Seno kembali ke
kampus, yang ketika itu telah menjadi Fakultas Televisi dan Film, Institut
Kesenian Jakarta. Ia menamatkan studinya dua tahun kemudian. Setelah sempat
diperbantukan di tabloid Citra, pada akhir tahun 1993 Seno kembali diminta
memimpin majalah Jakarta-Jakarta, yang telah berubah menjadi majalah hiburan.
Hingga kini Seno telah menerbitkan belasan buku
yang terdiri kumpulan sajak, kumpulan cerpen, kumpulan esai, novel, dan karya
nonfiksi.Atas prestasinya di bidang penulisan cerita pendek, Seno Gumira
Ajidarma mendapat penghargaan dari Radio Arif Rahman Hakim (ARH) untuk
cerpennya Kejadian (1977), dari majalah Zaman untuk cerpennya Dunia Gorda
(1980) dan Cermin (1980, dari harian Kompas untuk cerpennya Midnight Express
(1990) dan Pelajaran Mengarang (1993), dan dari harian Sinar Harapan untuk
cerpennya Segitiga Emas (1991). Selain itu, Seno juga memperoleh Penghargaan
Penulisan Karya Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk
kumpulan cerpen Saksi Mata (1995) dan Penghargaan South East Asia (S.E.A.)
Write Award untuk kumpulan cerpen Dilarang Mennyanyi di Kamar Mandi (1997).
Pendekatan
ekspresif dalam puisi Catatan karya Seno Gumira Ajidarma berikut ini:
CATATAN
si bocah
berjongkok dan menangis
memandang buih lautan : akukah kau cari?
suara-suara samodra menggoda manja
memandang buih lautan : akukah kau cari?
suara-suara samodra menggoda manja
si bocah
menangis semakin keras
dan senja mengendap, matahari berbisik
: akulah ibumu
dan senja mengendap, matahari berbisik
: akulah ibumu
Diksi si bocah mewakilkan perasaan si penyair yang mengecilkan dirinya. Kata ganti bocah dalam puisi tersebut menggambarkan anak-anak desa yang
lugu dan sedang mencari-cari ibunya atau rindu
dengan ibunya. Diksi dalam Berjongkok dan
menangis dalam puisi tersebut
menggambarkan si bocah sudah merasa tidak kuat lagi menahan beban yang dialami.
Dengan beban yang dialaminya tersebut si bocah meluapkan ekspresinya dengan
menangis. Dalam puisi ini juga terdapat diksi si bocah menangis semakin keras yang menggambarkan bagaimana
perasaan yang dialami si bocah. Si bocah ini merasakan apa yang dia cari tidak
ditemukan sampai pada titik lelahnya. Rasa lelah yang dirasakan oleh si bocah
ini tumpah seiring dengan luapan ekspresi si bocah yaitu dengan menangis,
menangis lebih keras.
Citraan pendengaran yang digunakan
dalam diksi matahari berbisik: Akulah
ibumu menggambarkan sebuah kata-kata yang dimasukkan ke dalam hati si bocah dengan lembut, dengan bisikan yang jauh menelusup kedalam perasaan si bocah. Jika dibandingkan dengan menggunakan diksi matahari
berbicara tentu yang terjadi sangat
aneh, karena seolah suara matahari sangat jelas
dan dekat seperti layaknya
manusia. Bila diksi yang dipakai matahari berbicara akan mengurangi efek masuknya makna yang dibisikkan
secara lembut kedalam
hati dan perasaan si bocah.
Citraan
penglihatan yang digunakan dalam diksi memandang
buih lautan menggambarkan dalam hamparan lautan hanya
buih-buih saja yang dilihatnya. Hanya sebagaian kecil dari lautan yang terlihat
dalam pandangannya. Terlihat pula citraan perasaan yang
ditumpahkan dalam diksi si bocah
berjongkok dan menangis dan si bocah menangis semakin keras menggambarkan suasana hati yang sangat sedih
dan pilu, karena betapa merindu kepada sang ibu. Citraan perasaan ini juga
digambarkan dalam bait dan senja
mengendap, matahari berbisik: akulah ibumu yang menggambarkan bahwa sang ibu merasakan bahwa
anaknya rindu dengan dirinya, walaupun sang ibu pun jauh dari anaknya sendiri.
Majas personifikasi yang digunakan
dalam puisi tersebut yaitu pada
bait suara-suara samodra menggoda manja menggambarkan deburan-deburan ombak di
lautan, yang karena
suasana hati si bocah deburan-deburan
ombak itu mengalami pembiasan
menjadi seperti suara-suara yang datang
entah dari mana asalnya dan merayu-rayu si bocah dengan manja. Majas
personifikasi yang dipakai penyair dalam puisi ini terdapat pada bait dan senja mengendap, matahari berbisik yang
seolah olah senja itu hidup bagaikan manusia, manusia yang perlahan pergi
meninggalkan si bocah sendiri. Matahari pun menjadi hidup layaknya manusia yang
dapat berbisik kepada si bocah, membisikan kata yang mengungkapkan suatu hal,
yaitu sang ibu si bocah itu. Si Bocah sendiri juga merupakan majas, yaitu simbol dari si penyair atau aku lirik yang sangat halus.
Bila
dilihat dengan secara
umum, makna puisi yang diciptakan
oleh Seno ini
menggambarkan perasaan Seno atau penyair yang merindukan sang ibu, atau sesuatu yang dianggap seperti ibu, dan sementara ibunya berada nan jauh di sana: di tempat senja mengendap.
Dalam puisi ini Seno atau penyair yang telah menginjak usia dewasa merasakan
dirinya menjadi seorang anak kecil kembali. Seno sang penyair merasakan rindu
yang hebat menerpa dirinya, rindu kepada sang ibu.
By : Priscilla Putri Elizabeth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar