Sejarah Semiotika
Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Dalam
pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam
berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk
memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain,
bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan
semiotika, bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa,
maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena
luasnya pengertian tanda itu sendiri (Piliang, 1998:262).
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni
Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua
tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal
satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang
keilmuan adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu
yang dikembangkannya semiologi (semiology).
Semiologi menurut Saussure seperti dikutip Hidayat,
didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia
membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya
sistem perbedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di
sana ada sistem (Hidayat, 1998:26).
Sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya
semiotika (semiotics). Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran
manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar
lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat
ditetapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Dalam perkembangan
selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda
(sign), berfungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi
seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang
dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda
tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa,
struktur yang ditemukan adalah sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat
disebut benda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu
keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf,
peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu,
suatu sikap, setangkah bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap. Bicara
cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk bersudut tajam,
kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan semuanya itu dianggap
sebagai tanda (Zoest, 1993:18).
Menurut Saussure, seperti
dikutip Pradopi (1991:54) tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak
dapat dipisahkan seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada
sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek
yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda
atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau
konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda
merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada
tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan
bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek, dan sebagainya.
Pertanda terletak pada level of content (tingkatan isi
atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan
antara kedua unsur melahirkan makna.
Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal
(benda) yang lain yang disebut reerent. Lampu merah mengacu pada jalan
berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada
kesedihan. Apalagi hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam
benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul penertian (Eco, 1979:59).
Menurut Piere, tanda
(representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam
batas-batas tertentu (Eco, 1979:15). Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang
lain, oleh Pierce disebut obyek (denotatum). Ke sesuatu yang lain, oleh Pierce
disebut obyek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda
baru dapat berfungsi bila diinterpretarikan dalam benak penerima tanda melalui
interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri
penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat
ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem
tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Pierce
terkenal dengan nama segi tiga semiotik.
Selanjutnya dikatakan, tanda dalam
hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon,
indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya
ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret.
Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda
seperti ini disebut metonimi. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah
bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari
akan hujan, simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum
konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan.
Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan
antara dasar (bentuk), objek (referent) dan konsep (interpretant atau
reference). Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan
obyek akan menimbulkan interpretan. Proses ini merupakan proses kognitif dan
terjadi dalam memahami pesan iklan.
Rangkaian pemahaman akan berkembang terus seiring
dengan rangkaian semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjutnya terjadi
tingkatan rangkaian semiosis. Interpretan ada rangkaian semiosis lapisan
pertama, akan menjadi dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi
rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda pada
lapisan pertama berfungsi sebagai penanda pada lapisan kedua, dan demikian
seterusnya.
Terkait dengan itu, Barthes seperti dikutip Iriantara
dan Ibrahim (2005:118:119) mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia
berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara
kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi
yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunaannya
dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju
subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya itu berlangsung ketika
interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.
Bagi barthes, faktor penting dalam konotasi adalah
penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda
konotasi. Jika teori itu dikaitkan dengan desain komunikasi visual (DKV), maka
setiap pesan DKV merupakan pertemuan antara signifier (lapisan ungkapan) dan
signified (lapisan makna). Lewat unsur verbal dan visual (non verbal),
diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang didapat pada semiosis
tingkat pertama dan makna dekatan semiotik terletak pada tingkat kedua atau
pada tingkat signified, makna pesan dapat dipahami secara utuh (Barthes,
1998:172-173).
Mengingat DKV mempunyai tanda terbentuk bahasa verbal
dan visual, serta merujuk bahwa teks DKV dan penyajian visualnya juga
mengandung ikon terutama berfungsi dalam sistem-sistem non kebahasaan untuk
mendukung peran kebahasaannya, maka pendekatan semiotik terhadap DKV layak
diterapkan.
Konsep dasar semiotik yang digunakan dalam penelitian
ini mengacu pada Roland Brahes yang berangkat dari pendapat Ferdinand de
Saussure. Pendekatan ini menekankan pada tanda-tanda yang disertai maksud
(signal) serta berpijak dari pandangan berbasis pada tanda-tanda yang tanpa
maksud (sympton) karya desain komunikasi visual mempunyai tanda yang ber-signal
dan ber-symptom, dan dalam memaknai makna karya DKV harus mengamati ikon,
indeks, simbol dan kode yang menurut Barthes adalah cara mengangkat kembali
fragment-framgment kutipan (Zoest, 1993:39-42).
Sebab esensi membongkar makna karya DKV dapat dilihat
dari adanya hubungan antara gejala struktural yang diungkapkan oleh tanda dan
gejala yang ditunjukkan oleh acuannya. Hasilnya akan dapat dilihat dan
diketahui bagaimana tanda-tanda tersebut berfungsi.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda.
Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat
komunikatif. Ia mampu menggantikan sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan atau
dibayangkan. Cabang ilmu ini semula berkembang dalam bidang bahasa, kemudian
berkembang pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi visual.
Sementara itu, Charles Sanders Pierce, menandaskan
bahwa kita hanya dapat berpikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat
berkomunikasi lewat sarana tanda.
Tanda dalam kehidupan manusia bisa tanda gerak atau isyarat. Lambaian tangan yang bisa diaritkan memanggil atau anggukan kepala dapat diterjemahkan setuju. Tanda bunyi seperti tiupan peluit, terompet, genderang, suara manusia, dering telepon, tanda tulisan, di antaranya huruf dan angka juga tanda gambar berbentuk rambu lalu lintas, dan masih banyak ragamnya (Noth, 1995:44)
Tanda dalam kehidupan manusia bisa tanda gerak atau isyarat. Lambaian tangan yang bisa diaritkan memanggil atau anggukan kepala dapat diterjemahkan setuju. Tanda bunyi seperti tiupan peluit, terompet, genderang, suara manusia, dering telepon, tanda tulisan, di antaranya huruf dan angka juga tanda gambar berbentuk rambu lalu lintas, dan masih banyak ragamnya (Noth, 1995:44)
Macam-macam
Teori Semiotik
·
Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic)
Semiotik Pragmatik menguraikan
tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan efek tanda
bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur,
semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai
sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik
Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi
(kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan
dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut
kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil
karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang
dapat mempengaruhi pemakainya.
·
Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic)
Keseluruhan akan dapat diuraikan
secara jelas. Semiotik Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa
memperhatikan ‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik
Sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan.
Dalam arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan
arsitektur sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya
arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam
bagian-bagiannya, hubungan antar bagian dalam
·
Semiotik Semantik (semiotic semantic)
Semiotik Sematik menguraikan
tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‘arti’ yang disampaikan. Dalam
arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat
sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan
perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan
melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu
hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat
dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin disampaikan oleh perancang
melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya,
jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama dengan persepsi
pengamatnya.
Teori Semiotik
Menurut Ahli
Teori
semiotik adalah salah satu teori pascamodern yang cukup penting dan banyak
digunakan. Teori ini mengajak kita memahami karya sastra melalui tanda-tanda
atau perlambang-perlambang yang dapat kita temui di dalam teks. Teori ini
berpendapat bahawa dalam sesebuah teks terdapat banyak tanda dan pembaca atau
penganalisis harus memahami apa yang dimaksudkan dengan tanda-tanda tersebut.
Sejarah semiotik telah bermula sejak zaman Yunani, yaitu pada zaman Plato dan Aristoteles. Kedua tokoh tersebut telah memulai sebuah teori bahasa dan makna. Namun tidak lama selepas era tersebut, teori ini dirasakan tidak wajar, lalu kegunaan dan keunggulannya mula memudar. Pada era modern ilmu ini muncul kembali, dengan tokoh-tokoh sebagai berikut:
Sejarah semiotik telah bermula sejak zaman Yunani, yaitu pada zaman Plato dan Aristoteles. Kedua tokoh tersebut telah memulai sebuah teori bahasa dan makna. Namun tidak lama selepas era tersebut, teori ini dirasakan tidak wajar, lalu kegunaan dan keunggulannya mula memudar. Pada era modern ilmu ini muncul kembali, dengan tokoh-tokoh sebagai berikut:
·
C.S PEIRCE
Peirce mengemukakan teori
segitiga makna yang terdiri atas tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object,
dan interpretant. Baginya, tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat
ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang
merepresentasikan hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce
terdiri atas Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang
muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan
sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.
·
FERDINAND DE SAUSSURE
Menurut Saussure, tanda terdiri
atas bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan
konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.
Dalam berkomunikasi, seseorang
menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan
menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”.
Menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat
dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.”
·
ROLAND BARTHES
Roland Barthes adalah penerus
pemikiran Saussure yang menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman
personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan
konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini
dikenal dengan sebutan “order of signification”, mencakup denotasi (makna
sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman
kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes
meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung
Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain
dari penandaan, yakni “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut
Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem
sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru.
·
BAUDRILLARD
Baudrillard memperkenalkan teori
simulasi. Peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak
merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang
diketahui. Konsekuensinya, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas.
Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu
tampaknya lebih nyata dari kenyataannya.
·
JACQUES DERRIDA
Derrida mengenalkan model
semiotika Dekonstruksi, sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan
penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi dimaksudkan
untuk menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui
penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan
konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda
senantiasa telah mengandung artikulasi lain. Dekonstruksi adalah usaha membalik
secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai
medannya. Dengan begitu, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan
sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip.
Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang
permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
·
UMBERTO ECO
Umberto Eco adalah ahli
semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling
komprehensif dan kontemporer. Teori Eco penting karena dia mencoba
mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara
lebih mendalam. Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan,
dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian
mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Bagi Eco, “satu tanda bukanlah
entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi
unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat
yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan
pengkodean”.
Sumber: http://id.shvoong.com/
By : Priscilla Putri Elizabeth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar