Naratologi dan Perkembangannya
Oleh
Alfian
Rokhamansyah
Sastra
Indonesia S-1 (Ilmu Sastra)
Univ. Negeri
Semarang (Unnes)
Naratologi
berasal dari kata narratio dan logos (bahasa Latin). Narratio berarti
cerita, perkataan, kisah, hikayat; logos berarti ilmu. Naratologi juga
disebut teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks)
naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan penceritaan.
Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis,
sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita.
Konsep-konsep yang berkaitan dengan narasi dan narator, demikian juga dengan
wacana dan teks, berbeda-beda sesuai dengan para penggagasnya. Narasi baik
sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai representasi paling
sedikit dua peristiwa faktual atau fiksional dalam urutan waktu.
Narator atau
agen naratif (Mieke Bal dalam Hudayat, 2007) didefinisikan sebagai pembicara
dalam teks, subjek secara linguistik, bukan person, bukan pengarang. Kajian
wacana naratif dalam hubungan ini dianggap telah melibatkan bahasa, sastra, dan
budaya yang dengan sendirinya sangat relevan sebagai objek ilmu-ilmu
kemanusiaan (humaniora). Dikaitkan dengan cerita dan penceritaan, maka hanya penceritaan
yang memiliki identitas yang sama baik dengan wacana atau teks. Bal menyebutkan
bahwa pembaca membaca wacana dan teks yang berbeda dari cerita yang sama.
Perbedaan bukan semata-mata diakibatkan oleh perbedaan bahasa, tetapi bagaimana
cerita ditampilkan kembali. Setiap orang, misalnya, akrab dengan cerita Jaka
Tarub, tetapi tidak semua orang menikmati cerita tersebut melalui teks yang
sama sebab teks tidak diceritakan dalam bahasa, melainkan melalui bahasa;
diceritakan oleh narator, bukan pengarang. Dalam analisis diskursif yang
termasuk dalam wilayah pascastruktural, analisis naratif merupakan bagian
ideologi.
Cerita dan
penceritaan dimanfaatkan untuk melegitimasikan kekuatan dan kekuasaan bagi
mereka yang memilikinya. Revolusi, restorasi, dan afirmasi terhadap kelompok
tertentu tidak semata-mata dilakukan melalui kekuatan fisik, politik, dan
ekonomi, tetapi juga melalui kata-kata, semboyan, dan wacana. Pada paham
pascastruktural, naratologi tidak membatasi diri pada teks sastra saja
melainkan keseluruhan teks sebagai rekaman aktivitas manusia, sehingga
kajiannya bersifat interdisipliner. Aktivitas kebudayaan pun sesungguhnya
adalah teks yang dengan sendirinya dapat dianalisis sesuai dengan ciri-ciri
teks.
Visi sastra
kontemporer memandang bahwa sebagai seni waktu, penceritaan menduduki posisi
penting dalam memahami aktivitas kultural, dengan pertimbangan bahwa di satu
pihak ceritalah yang menampilkan keseluruhan unsur karya; cerita sebagai tulang
punggung karya. Di pihak lain, dalam kaitannya dengan kebudayaan yang lebih
luas, cerita berfungsi untuk mendokumentasikan seluruh aktivitas manusia
sekaligus mewariskannya kepada generasi berikutnya. Tanpa cerita, tanpa adanya
kekuatan wacana dan teks, kebudayaan pun tidak ada. Dalam hubungan inilah dikatakan
bahwa dunia kehidupan itu sendiri dianggap sebagai teks yang dengan sendirinya
dapat dipahami melalui paradigma sebuah teks. Hampir keseluruhan genre sastra,
khususnya genre yang dikategorikan ke dalam fiksi memanfaatkan unsur cerita dan
penceritaan. Dalam karya sastra, unsur penceritaanlah yang lebih utama dalam
wujud plot. Tanpa plot, wacana, dan teks, karya sastra hanya berfungsi sebagai
fakta mengingat dunia faktual semata-mata merupakan sistem model pertama untuk
mengantarkan manusia pada dunia sistem model kedua, yaitu dunia fiksional.
Teori sastra
kontemporer memberikan wilayah yang sangat luas terhadap eksistensi naratif.
Wilayah tersebut selain menjangkau novel, juga roman, cerita pendek, puisi
naratif, gongeng, biografi, lelucon, mitos, epik, catatan harian, dan
sebagainya. Naratif tidak dibatasi pada genre sastra, tetapi juga setiap bentuk
cerita dalam media massa. Secara historis, Marie-Laure Ryan dan Ernst van
Alphen (Hudayat, 2007) menyebutkan bahwa naratologi dapat dibagi menjadi tiga periode,
yaitu:
1. Periode
prastrukturalis (hingga tahun 1960-an)
2. Periode
strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an)
3. Periode
pascastrukturalis (tahun 1980-an hingga sekarang).
Awal
prkembangan teori narasi dapat dilacak Poetica Aristoteles (cerita dan
teks); Henry James (tokoh dan cerita); Forster (tokoh bundar dan datar); Percy
Lubbock (teknik naratif), dan Vladimir Propp (peran dan fungsi). Pada umumnya
periode strukturalis terlibat ke dalam dikotomi fabula dan sjuzhet (cerita
dan plot). Para pelopornya, di antaranya: Claude Levi-Strauss (struktur mitos),
Tzvetan Todorov (historie dan discours), Claude Bremond (struktur dan fungsi),
Mieke Bal (fabula, story, text), Greimas (tata bahasa naratif dan
struktur actans), Shlomith Rimmon-Kenan (story, text, narration).
Naratologi pascastrukturalis pada umumnya mendekonstruksi dikotomi parole dan
langue, fabula, dan sjuzhet dengan ciri-ciri naratif
nonliterer, interdisipliner, termasuk feminis dan psikoanalisis.
By : Priscilla Putri Elizabeth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar