Senin, 21 Januari 2013

Naratologi dan Perkembangannya



Naratologi dan Perkembangannya

Oleh
Alfian Rokhamansyah
Sastra Indonesia S-1 (Ilmu Sastra)
Univ. Negeri Semarang (Unnes)


Naratologi berasal dari kata narratio dan logos (bahasa Latin). Narratio berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat; logos berarti ilmu. Naratologi juga disebut teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks) naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan penceritaan. Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis, sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita. Konsep-konsep yang berkaitan dengan narasi dan narator, demikian juga dengan wacana dan teks, berbeda-beda sesuai dengan para penggagasnya. Narasi baik sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atau fiksional dalam urutan waktu.

Narator atau agen naratif (Mieke Bal dalam Hudayat, 2007) didefinisikan sebagai pembicara dalam teks, subjek secara linguistik, bukan person, bukan pengarang. Kajian wacana naratif dalam hubungan ini dianggap telah melibatkan bahasa, sastra, dan budaya yang dengan sendirinya sangat relevan sebagai objek ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Dikaitkan dengan cerita dan penceritaan, maka hanya penceritaan yang memiliki identitas yang sama baik dengan wacana atau teks. Bal menyebutkan bahwa pembaca membaca wacana dan teks yang berbeda dari cerita yang sama. Perbedaan bukan semata-mata diakibatkan oleh perbedaan bahasa, tetapi bagaimana cerita ditampilkan kembali. Setiap orang, misalnya, akrab dengan cerita Jaka Tarub, tetapi tidak semua orang menikmati cerita tersebut melalui teks yang sama sebab teks tidak diceritakan dalam bahasa, melainkan melalui bahasa; diceritakan oleh narator, bukan pengarang. Dalam analisis diskursif yang termasuk dalam wilayah pascastruktural, analisis naratif merupakan bagian ideologi.

Cerita dan penceritaan dimanfaatkan untuk melegitimasikan kekuatan dan kekuasaan bagi mereka yang memilikinya. Revolusi, restorasi, dan afirmasi terhadap kelompok tertentu tidak semata-mata dilakukan melalui kekuatan fisik, politik, dan ekonomi, tetapi juga melalui kata-kata, semboyan, dan wacana. Pada paham pascastruktural, naratologi tidak membatasi diri pada teks sastra saja melainkan keseluruhan teks sebagai rekaman aktivitas manusia, sehingga kajiannya bersifat interdisipliner. Aktivitas kebudayaan pun sesungguhnya adalah teks yang dengan sendirinya dapat dianalisis sesuai dengan ciri-ciri teks.

Visi sastra kontemporer memandang bahwa sebagai seni waktu, penceritaan menduduki posisi penting dalam memahami aktivitas kultural, dengan pertimbangan bahwa di satu pihak ceritalah yang menampilkan keseluruhan unsur karya; cerita sebagai tulang punggung karya. Di pihak lain, dalam kaitannya dengan kebudayaan yang lebih luas, cerita berfungsi untuk mendokumentasikan seluruh aktivitas manusia sekaligus mewariskannya kepada generasi berikutnya. Tanpa cerita, tanpa adanya kekuatan wacana dan teks, kebudayaan pun tidak ada. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa dunia kehidupan itu sendiri dianggap sebagai teks yang dengan sendirinya dapat dipahami melalui paradigma sebuah teks. Hampir keseluruhan genre sastra, khususnya genre yang dikategorikan ke dalam fiksi memanfaatkan unsur cerita dan penceritaan. Dalam karya sastra, unsur penceritaanlah yang lebih utama dalam wujud plot. Tanpa plot, wacana, dan teks, karya sastra hanya berfungsi sebagai fakta mengingat dunia faktual semata-mata merupakan sistem model pertama untuk mengantarkan manusia pada dunia sistem model kedua, yaitu dunia fiksional.

Teori sastra kontemporer memberikan wilayah yang sangat luas terhadap eksistensi naratif. Wilayah tersebut selain menjangkau novel, juga roman, cerita pendek, puisi naratif, gongeng, biografi, lelucon, mitos, epik, catatan harian, dan sebagainya. Naratif tidak dibatasi pada genre sastra, tetapi juga setiap bentuk cerita dalam media massa. Secara historis, Marie-Laure Ryan dan Ernst van Alphen (Hudayat, 2007) menyebutkan bahwa naratologi dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
1. Periode prastrukturalis (hingga tahun 1960-an)
2. Periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an)
3. Periode pascastrukturalis (tahun 1980-an hingga sekarang).

Awal prkembangan teori narasi dapat dilacak Poetica Aristoteles (cerita dan teks); Henry James (tokoh dan cerita); Forster (tokoh bundar dan datar); Percy Lubbock (teknik naratif), dan Vladimir Propp (peran dan fungsi). Pada umumnya periode strukturalis terlibat ke dalam dikotomi fabula dan sjuzhet (cerita dan plot). Para pelopornya, di antaranya: Claude Levi-Strauss (struktur mitos), Tzvetan Todorov (historie dan discours), Claude Bremond (struktur dan fungsi), Mieke Bal (fabula, story, text), Greimas (tata bahasa naratif dan struktur actans), Shlomith Rimmon-Kenan (story, text, narration). Naratologi pascastrukturalis pada umumnya mendekonstruksi dikotomi parole dan langue, fabula, dan sjuzhet dengan ciri-ciri naratif nonliterer, interdisipliner, termasuk feminis dan psikoanalisis.

Ditulis oleh: Alfian Rokhmansyah pada Rabu, Januari 26, 2011

 



By : Priscilla Putri Elizabeth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar